10.3.2 Obrolan

655 121 25
                                    

Ini malam pertama mereka di New York.

Suhu menyentuh 4 derajat celcius di luar sana. Penghangat ruangan sudah dinyalakan sejak tadi. Jeno masih berdiri di depan cermin wastafel, menyikat gigi. Ia berkumur, membersihkan busa-busa pasta gigi dari mulutnya, kemudian keluar dari kamar mandi.

Di kasur, Jaemin sudah duduk manis dikelilingi dengan produk-produk kecantikan berukuran travel size miliknya. Tangan kirinya memegang cermin, sedangkan tangan kanannya sibuk mengoleskan krim ke wajah.

Jeno bergerak ke sisi lain ranjang yang kosong. Ia menarik tali tirai jendela hingga jendela besar yang memamerkan pemandangan perkotaan New York yang cantik tertutup. Ia naik ke ranjang, menciptakan goyangan ringan bagi Jaemin.

Rasanya mengantuk. Tapi juga terasa aneh mendapati Jaemin berada bersamanya dalam satu kasur. Biasanya, meskipun menginap, mereka tidak pernah tidur satu kasur seperti ini. Antara Jeno tidur di sofa, atau di kamar tamu apartemen Jaemin.

Sadar diperhatikan oleh Jeno, Jaemin menoleh pada kekasihnya itu. Cengiran di wajahnya melebar.

"Kita kaya pasangan bulan madu, ya?"

Jeno mendengus dalam tawa. Lelaki itu tidak membalas. Ia menyandarkan tubuhnya lebih dalam pada tumpukan bantal di belakang punggungnya.

Jaemin merapikan botol-botol skincarenya ke dalam pouch, lalu mengambil bodybutter beraroma bunga peony dan memakaikannya di kulit yang terbuka. Dingin dan keringnya udara musim dingin selalu membuat kulit Jaemin yang pada dasarnya bertipe kulit kering jadi semakin kering dan menyakitkan. Ia akan selalu membawa pelembab wajah, krim tangan, dan lipbalm sebagai first-aid kit untuk tubuhnya yang kering. Penggunaan bodybutter juga jadi hal yang wajib ia lakukan kalau tidak ingin merasa perih akibat gesekan antara kulit kering dan fabrik pakaian.

Jeno tahu-tahu mendekat pada Jaemin. Hidungnya mengendus di sekitar bahu Jaemin, membuat perempuan itu menoleh.

"Jadi ini yang bikin kamu wangi terus? Kupikir karna parfum."

"Aku pakai sabun, bodybutter, dan parfum beraroma sama selama bertahun-tahun. Mungkin karena itu juga makanya aromanya lebih menempel padaku," jawab Jaemin sambil menutup wadah bodybutter yang selesai ia gunakan lalu meletakkannya ke meja nakas.

Mengikuti langkah Jeno, Jaemin menyusupkan dirinya ke balik selimut tebal. Ia berbaring menyamping dengan sebelah tangan ditopang oleh tangan kiri yang membentuk sudut siku. "Sini, sini." Ia menepuk-nepuk bantal di sebelahnya, mengajak Jeno untuk turut berbaring.

Lelaki itu menurut.

Rasanya aneh dan asing tidur berbagi ranjang seperti ini. Tapi lelah keburu menyergap seluruh tubuh Jeno. Bantal yang empuk, selimut yang hangat, penghangat ruangan yang sudah menyala, dan dingin udara luar adalah kombinasi bagus untuk segera berangkat ke pulau kapuk.

"Besok kita ke Brooklyn Bridge," kata Jaemin mengingat itinerary yang sudah ia susun.

"Ada apa di sana?"

"Jembatan?" Jaemin tertawa dengan jawabannya sendiri. "Sebenarnya tidak ada apa-apa, tapi tempat itu semacam tempat wajib yang didatangi turis. Itu jembatan gantung terpanjang di dunia."

"Begitu?"

"Hu um."

Mata Jeno nyaris terpejam seutuhnya karena jemari-jemari lentik Jaemin kini bermain-main di rambutnya. Mengelusnya lembut seolah ia sedang bermain dengan bulu seekor anjing. Dan Jeno menyukainya. Rasanya seperti dipijat sekaligus dikelitiki dengan lembut di saat yang sama.

"Aku pertama kali photoshot untuk majalah di sana."

Mata Jeno terbuka separuh, melirik Jaemin.

"Waktu itu kami baru debut dan diudang oleh brand Tory Burch untuk datang ke Fashion Week sekalian photoshoot," kata Jaemin.

In SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang