BAB 4

11 4 0
                                    

Kami menyusuri medan yang berganti-ganti, dari kontur yang landai ke menanjak, dari jalan setapak berganti ke padang luas, bahkan kami melewati tanah yang ditumbuhi bunga-bunga cantik. Bang Wira bilang itu ditanam oleh warga lokal, jadi tidak boleh dipetik sembarangan. Yang diamini oleh Ferdi. Sebagai anak baru di dunia pendakian gunung gue manut aja kata senior. Kami juga melewati area dimana batang-batang pohon tinggal separuh dengan warnanya yang hitam seperti hangus terbakar.

Menurut bang Wira, gunung ini mengalami kebakaran hebat saat musim kemarau kemarin, area kebakarannya sangat luas. Karena pepohonan dan rumput-rumput yang kering memicu api merambat dengan cepat. Untungnya tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut, karena pendakian sedang ditutup.

Tapi anehnya gue masih mencium bau seperti daging gosong. Mungkin ada hewan yang terperangkap dalam kobaran api dan mati terbakar? Entahlah hanya Tuhan yang tau jawabannya. Melewati padang rumput yang menghitam kami sampai di bagian yang membuat gue senam jantung, karena bagian kiri dari jalur ini adalah jurang. Rasanya darah gue langsung naik ke kepala.

"Yang takut ketinggian, jalannya deket sama orang yang di depan atau belakangnya, dan mepet aja ke tebing sebelah kanan." instruksi bang Wira lagi.

Gue dan Reza segera mendekat ke Aska yang jalan di depan gue. Seakan paham Aska dan bang Wira memelankan langkah mereka, berusaha menyamai ritme kaki gue yang rasanya segan maju tapi takut mundur. Baru beberapa langkah, gue melirik ke Reza.

"Apa?" tanya gue.

"Hah? apanya yang apa?" tanya Reza kembali, dia kelihatan bingung.

"Tadi lu ngomong apa? Gue gak denger."

"Gue kagak ngomong apa-apa." jawabnya cepat.

"Mungkin suara angin." kata Aska yang berada di depan gue.

Gue mengangguk, saat ini kami sedang berjalan di tepi tebing, sehingga angin memang kencang menerpa kami. Sisi kanan kami adalah tanah yang ditumbuhi pepohonan yang menghitam, sepertinya kebakaran juga sampai ke titik ini, dengan kemiringannya hampir 45 derajat, sulit rasanya untuk naik lewat jalan ini, sementara di sisi kiri jurang terbentang di sepanjang jalur ini.

"Konsentrasi! Lihat ke depan." teriakan dari Ferdi di belakang. Ferdi memang ditugaskan sebagai sweeper kami. Dia memantau setiap gerakan dan aktifitas kami, terutama gue, Reza dan Arga yang merupakan pendaki pemula. Gue kembali melihat ke depan. Samar-samar telinga gue mendengar suara lagi, tapi kali ini lebih jelas.

"To...long, panas...."

Jleb, seketika bulu kuduk gue merinding, bahkan bulu-bulu di tangan gue berdiri semua. Itu suara perempuan, sumpah kali ini gue gak salah dengar. Suaranya berasal dari sisi kiri gue, ya jurang di samping ini. cukup 3 langkah ke samping, gue bisa jatuh ke bawah, dan kemungkinan buat hidup gue rasa kecil sekali.

"Panas... hiks...hiks... tolong saya, mas...."

"Astaghfirullah, astaghfirullah." gue segera berdzikir terus menerus sepanjang jalur ini. Gue gak mau membuat prasangka yang bukan-bukan, entah itu memang suara korban kebakaran, atau ulah jin jahat penunggu gunung ini, yang jelas gue gak mau masuk ke jurang terjal di samping. Gue cuma berdoa dalam hati agar jalur ini cepat terlewati.

Ah, mama, gue merutuki keputusan gue yang iya-iya aja diajak naik gunung. Udah bagus santai di rumah, nggak pegel, nggak ketemu jurig, kagak masuk angin. Coba gue kemaren ngajak mereka ke taman safari aja. Aman terkendali, atau sekalian kalau mau mendaki yang jauh sekalian ke waerebo di NTT. Syad, syad, emang pinter lu jadi orang.

Lepas dari jalur setan tadi, gue yang kasih nama begitu. Kami duduk sebentar di atas rumput. Gue memegang kaki-kaki gue, merasakan kalau mereka masing terpasang aman disana, Karena gue tadi kayak melayang ditiup angin di sepanjang tebing. Wajah gue pucat pasi, teman gue yang lain cuma tersenyum maklum, padahal gue pucat karena dengar suara angin jurang yang minta tolong tadi. Aska yang jadi chef kami hari ini, menyodorkan sebuah termos air panas kecil mungil, yang gue terima dengan senang hati. Menaruh teh celup ke cangkir kecil, gue menikmati ademnya air hangat yang masuk ke kerongkongan.

Di balik KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang