Bab 12

11 3 0
                                    

Gue merasa sudah melangkahkan kaki dengan cepat dan jauh, tapi nyatanya pos 4 belum juga kelihatan. Jalan yang kami lalui seakan-akan tidak ada ujungnya. Perkiraan awal gue yang akan mencapai pos 4 dalam waktu 1 jam kandas. Jam di tangan gue menunjukkan pukul 8.15, angin yang berhembus kencang sejak tadi membuat badan gue agak menggigil. Udara malam ini benar-benar dingin.

"Bang." panggil gue.

Bang Wira menoleh, menatap gue penuh tanya.

"Istirahat bentar bang, bikin kopi, dingin."

Bang Wira mengangguk, kami mencari tempat yang pas untuk istirahat, melepas penat kemudian menyalakan kompor.

"Jangan lama-lama istirahatnya, jika hanya diam saat angin seperti ini bisa mati kedinginan." Ucapan Subhan membuat kami semua menatapnya.

"Gak akan lama, kang. Cukup untuk menghangatkan badan. Di grup kami ada 3 orang pendaki pemula, jadi memang tempo kami sedikit lambat." jelas bang Wira dengan senyum.

"Ayo ngopi dulu, sebentar." ajaknya lagi.

Empat orang tadi hanya berdiri memandangi kami, sedangkan kami semua sudah duduk. Arga dan Aska bahkan sudah melepas tas mereka.

"Apa akang mau duluan?" tanya Ferdi.

Sahabat gue yang ini memang agak temperamental walaupun humoris. Kami semua menatapnya, Aska dan bang Wira yang semula berbaring bersandar tas, kini menegakkan badan mereka.

Subhan mengangguk dan berkata," kalau begitu kami duluan saja, mari kang."

"Iya, silahkan. Tau jalannya kan? Ikuti saja jalurnya. pasti sampai ke puncak." Ujar bang Wira.

Mereka kemudian berjalan meninggalkan kami. Dari kejauhan gue perhatikan jalan mereka lambat tapi jarak mereka dan kami dengan cepat menjauh, gue heran.

"Belagu banget, kayak dia aja paling tau soal gunung." Ferdi mendumel sambil mengeluarkan rokoknya.

"Biasalah, biarkan saja." sahut Aska.

Cahaya senter di kejauhan menyita perhatian gue.

"Ka, bang." panggil gue.

"Apa?"

"Itukan yang tadi." kata gue menunjuk ke sumber cahaya yang datang.

"Hah?"

Kami melihat senter-senter di atas kepala 4 orang, setelah mereka mendekat. Kami tidak bisa menutup kekagetan kami. Empat orang yang tadi, sama persis, kini berjalan dari arah yang berlawanan. Sekarang keempat orang itu juga melihat kami, mereka menghampiri dengan senyuman.

"Kang, ketemu lagi."

Gue cuma bisa berkedip bloon memandang mereka.

"Aih, si akang, kenapa? Terkejut ya, kami jalannya lama? hahaha...."

"Akang dari tadi gak ketemu kami?" tanya Ferdi.

"Lah, tadi di pos kan ketemu.Tapi kami ngasonya lama disana, sekalian shalat isya." jelasnya.

"Bukan di dekat sumber air, kang?" tanya gue.

"Enggak kang, sebetulnya kita emang mau nyusulin akang, tapi akang-akang semua gak kelihatan, cahaya-cahaya senternya juga gak ada, kita pikir akang-akang pasti udah jauh banget jalannya. Baru dibawah tadi kami melihat cahaya senter." jelasnya.

Ini gue tidak lagi berhalusinasi kan? Empat orang yang baru saja meninggalkan kami tadi, kini ada di depan gue. Dan gue ingat benar, pendaki hedon yang peralatannya serba mahal juga ada disini. Sekilas gue lihat Arga menyenggol Akbar di sebelahnya, yang dibalas gelengan kepala. Gue merasa tarikan di baju, ketika gue berpaling, raut wajah Reza yang tegang terlihat.

Di balik KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang