BAB 11

10 3 0
                                        

"Maksimal kita jalan sampai jam 8 malam, kalau belum juga nemu jalan keluar kita cari tempat buat masang tenda. Lanjutkan besok saat matahari sudah terbit." kata bang Wira.

Selesai makan dan shalat, kami semua kembali berjalan, bang Wira naik ke atas bersama Ferdi. Mereka perlu menanjak satu persatu pijakan untuk memastikan itu aman. Setelah sampai di atas mereka menyuruh kami naik. Aska yang pertama, dia mengikuti cara Ferdi tadi, dan dari atas bang Wira dan Ferdi sudah mengulurkan trekking pole mereka. Sebelah tangan Aska memegang itu dan sebelahnya lagi memegang akar pohon, kemudian dia naik dengan selamat. Satu persatu kami mengikuti caranya.

Dari tanjakan itu kami melimpir ke jalur sebelah kiri, dan itu keputusan yang tepat karena gue melihat ada sebuah papan yang dipakukan ke pohon.

"Bang, pos 3, bang!" seru Reza dengan semangatnya.

Wajah-wajah lelah disebelah gue juga tersenyum cerah, karena sekarang kami bisa melihat tulisan pos 3 di depan. Ya, kami berhasil menemukan jalur pendakian semestinya, setelah berputar-putar di dalam hutan tadi.

"Bagaimana, lanjut ke puncak, atau mau turun ke bawah?" Bang Wira memberikan tawaran kepada kami, atau lebih tepatnya ke gue, Reza dan Arga.

Pengalaman pertama kami mendaki memang luar biasa, gue bersemangat buat cerita nanti kepada mama, setibanya di kampung.

"Lanjut bang, udah terlanjur jauh, kalau cuacanya bagus sayang harus turun lagi," kata gue.

"Oke. Reza, Arga, gimana?"

"Lanjut bang, gue pengen tau puncak itu kayak apa." sahut Reza. Arga hanya mengangguk mendengar ucapan Reza, menandakan dia setuju.

Saat kami hendak berjalan, dari belakang terdengar riuh suara orang-orang sedang berbicara. Gue menoleh ke teman-teman dan mereka semua menoleh ke belakang, oh berarti bukan gue sendiri yang dengar. Jalan dari bawah ke pos 3 ini memang menanjak, jadi kami mesti menunggu beberapa saat untuk melihat asal suara tadi.

Cahaya-cahaya senter mulai terlihat, 4 orang sedang menaiki jalur ini, laki-laki semua dan masih muda, sepertinya masih seumuran dengan kami, mungkin mahasiswa juga. Dari jarak ini gue dengar mereka memakai bahasa sunda. Gue mengerti apa yang mereka bicarakan, tapi gak bisa kalau untuk menuturkan bahasa sunda.

"Ada orang."

"Loh tadi gak kelihatan ada orang di depan."

"Rame loh mereka, kok gak ada yang sadar ya?"

"Mungkin dari tadi jalannya, cuma lama istirahatnya disini."

"Udah tanyain aja."

Percakapan itu membuat gue geli, tapi gue cuma senyum aja, keberadaan kami sepertinya sangat janggal bagi mereka. Satu orang yang berpakaian biru, tersenyum dan menyapa kami.

"Lagi istirahat, kang?" tanya dia.

"Iya, sekarang sudah mau jalan." jawab bang Wira.

"Dari jam berapa mendakinya, kang?"

"Dari siang tadi."

Mereka saling pandang mendengar jawaban bang Wira.

"Lewat jalur mana memangnya kang? Dari sini juga?"

"Oh, kami dari jalur satunya." ucap bang Wira sambil menunjuk jalan yang kami lewati.

"Wah ada jalur ya disitu."

Kami hanya tersenyum mendengarnya, jalur lumpur kataku dalam hati.

"Mulai dari jam berapa?" tanya bang WIra.

"Dari jam 4 bang."

Gue melihat jam yang menunjukkan pukul 7 malam kurang, 3 jam ke pos tiga? Kalau jalurnya normal itu waktu yang lama bagi gue.

Di balik KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang