BAB 7

10 3 0
                                    

Gue gak tau bagaimana rasanya mati, dan gak pengen juga cari tau, biarlah waktu nanti yang memberi tau gue melalui izrail-Nya. Tapi dengan pinggang dan bagian bawah tubuh gue yang berada di bawah tanah, gue merasa kian dekat dengan kematian.

Dari tebing tinggi tadi, kami berbalik arah, kabut yang mulai memudar tidak serta-merta membuat perjalanan menjadi mudah, nyatanya kami baru sadar banyak persimpangan di jalur yang kami ambil ini. Di sebuah persimpangan kami mengambil jalur dengan rute menurun. Kabut mulai menipis, jarak pandang sudah mulai membaik, jadi bang Wira melepaskan tali yang mengikat badan kami.

Awalnya gue mengira lumpur yang kami pijak hanya lumpur rawa biasa, yang dasarnya semakin dalam ketika kami melangkah, kontur jalanan yang sejak tadi menurun membuat gue gak berpikir macem-macem. Imbasnya, kini kami terjebak dalam lumpur hisap, dengan badan yang hampir ditelan bumi. Kami yang dalam artian gue, bang Wira, Aska, dan Reza, 4 orang yang berjalan di depan makin terbenam, semakin kami bergerak semakin kuat bumi menghisap. Sementara Ferdi, Akbar dan Arga yang berada di belakang masih sempat meloloskan diri, walau kaki mereka tetap penuh lumpur. Dengan bermodalkan tali webbing, mereka menarik bang Wira yang sudah tengelam hingga dada, untuk keluar sekuat tenaga. Beruntungnya tanah di tepian cukup kokoh untuk dijadikan pijakan 3 orang itu.

"Yuk, lagi. 1,2,3..." Akbar memberikan komando.

Serentak sekali lagi mereka menarik tali, bagai lomba 17-an.

" Tasnya lepas!" seru bang Wira yang masih sempat mengingatkan kami.

Gue, Aska dan Reza segera melemparkan tas yang kami bawa ke tepian, akibatnya badan kami makin terperosok ke dalam.

Perlahan-lahan seiring dengan tarikan, tubuh bang Wira semakin terdorong keluar dari lubang hisapan menuju tepian.

Jejaknya di lumpur mengingatkan gue dengan sawah yang dibajak para kerbau.

Gue memandang ke atas, kepada

Langit yang semakin kelabu, sambil menunggu giliran. Aska masih berjuang menggapai tali yang dilemparkan Ferdi. Gerakannya membuat lumpur yang semula berada di perut naik ke atas dadanya. Kali ini ada 4 orang yang membantunya keluar. Seruan "tarik" menjadi aba-aba pemecah keheningan, gue masih berharap adanya suara burung yang merdu untuk mengisi waktu, karena gue yakin ponsel gue gak akan tertolong setelah terendam di lumpur bersama kaki.

Disana 5 orang sedang berbaring ngos-ngosan, masih ada 2 orang yang musti ditarik keluar. Kecuali jika mereka ingin membiarkan gue dan Reza menjadi patung lumpur disini.

"Jangan gerak-gerak, Za." Seru Aska.

Gue menoleh menatap Reza yang seperti menghindari sesuatu.

"Lu kenapa, Za?" Tanya gue.

"Ada binatang di kaki gue."

"Sabar sebentar, Za. Bang, Reza aja duluan." Kataku kepada bang Wira yang sudah siap melemparkan tali. Tali pun terhampar di depan Reza yang segera menyambutnya. 5 orang menarik Reza, tapi bagaikan pohon kokoh, dia tak bergeming, yang ada 5 orang disana yang kepayahan, jatuh sempoyongan di atas tanah.

"Berat banget, Reza. Lu makan apa tadi?" tanya Arga.

"Gue gak makan apa-apa, lu kan liat sendiri gue cuma makan yang dimasak Aska." Sahut Reza.

"Keberatan dosa sih lu, makanya kurang-kurangin nonton film Jepang."

Kami tertawa mendengar ucapan Ferdi.

"Gak ada ya, gue udah tobat dari bulan puasa kemarin. Sembarangan lu."

"Udah, ayo tarik lagi. Kasian Irsyad, lama-lama jadi patung dia disitu."

Di balik KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang