BAB 5

11 4 2
                                    


Kami sampai di tempat terbuka sekarang, dan hujan mengguyur dengan derasnya secara tiba-tiba. Bang Wira, Ferdi, Akbar dan Aska segera membuat tenda dadakan dari flysheet, atau entah apalah itu namanya, mengikatnya di bongkahan batu dan membuat patok di tanah. Mengisi waktu menunggu hujan reda, kami masak dan menikmati sore di gunung. Di depan gue pemandangan cantik banget, hamparan bunga-bunga yang didominasi warna putih diselingi ilalang tinggi berwarna senada. Air hujan yang jatuh di kelopak bunga, membuat bunga membungkuk dan mengirimnya kembali ke tanah.

"Bro, terjebak hujan di sore hari enaknya makan apa?" tanya Reza.

Gue udah punya firasat buruk kalau dia sudah buka mulut.

"Makan indomie," jawab gue.

"Standar banget jawaban lu, yang kreatif dikit dong."

"Memangnya apa?" gue penasaran juga sama jawaban ajaib apa yang bakal Reza keluarin.

"Maka namamu tetap di hatiku. Aw, aw, aw." kata Reza sambil mendusel-dusel kepalanya ke bahu Arga disampingnya. Gue mau gak mau ketawa juga lihat kelakuan Reza.

Gue melihat jam, waktu menunjukkan pukul 15 lewat beberapa menit. Sebentar lagi adalah waktunya Ashar. Bang Wira juga tampaknya sadar. Bang WIra mengeluarkan sarung dan itu menjadi pertanda bagi kami semua. Kami mengosongkan bagian tepi yang punya ruang tinggi, dan mengambil wudhu dari air hujan yang jatuh di flysheet, kami sholat bergantian.

Habis shalat, gue duduk main hp, ngecek pesan, sambil nungguin yang lain. Di sebelah gue, Reza lagi tiduran. Anak satu ini dari dulu memang susah kalau diajak ibadah. Suasana adem banget, hanya rintik hujan yang terdengar, hawa-hawa dingin membuat gue ngantuk, sebagian yang sudah selesai shalat juga memilih berbaring. Rasanya gue baru memejamkan mata ketika kembali terbangun.

"AHHHH!!!" teriakan Reza mengagetkan kami semua.

Matanya masih terpejam, tapi kakinya menendang-nendang udara kosong, dan mulutnya mengeluarkan suara yang tak jelas. Gue langsung membangunkannya,

"Za, za, Reza!" gue menggoyang-goyangkan badannya, tapi dia belum bergeming. Ferdi menadahkan air hujan di tangannya dan mengusap wajah Reza. Berhasil, Reza langsung bangun.

"Anjing, muka gue pedes."

Reza langsung berlari ke arah air hujan dan mencuci mukanya.

"Dia kenapa?" tanya gue heran.

Sementara Ferdi cuma senyum doang.

"Habis megang apa, lu?" tanya Reza yang kepalanya basah kayak kucing habis dimandiin.

"Oh gue abis ngulek cabe tadi." jawab Ferdi santai.

"Anjim, pantesan pedas muke gue, gila lu Fer."

"Emangnya lu mimpi apa? Sampe beringas gitu?" tanya gue penasaran.

"Gue mimpi dikejar cewek cantik, bro."

"Halah, terus ngapain lu kayak nendang gitu? Lu mau apain tuh cewek di mimpi?"

"Begitu gue deketin, tuh cewek berubah jadi wewe gombel bro, mana susunya borokan, gelantungan kemana-mana, banyak ulatnya, hoekk."

"Makanya baca doa. Shalat gih sana, yang lain udah pada shalat, mumpung masih hujan tuh, gampang wudhunya." bang Wira berkata sambil menyeduh kopi.

Reza pun manut, emang kalo bang Wira udah bersuara kita para juniornya gak bisa ngelawan.

Tak lama hujan pun mereda, seperti kata para pujangga, pelangi sesudah hujan itu indah. Bunga-bunga basah dengan latar pelangi segera memancing jiwa narsis kami untuk berfoto ria. Jadi tanpa kecuali, kami semua keluar dari tenda dadakan, Aska dan Akbar malah sudah menenteng kamera sultan mereka mencari angle terbaik buat foto.

Di balik KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang