BAB 10

11 3 0
                                    

Kami beristirahat di tanah yang agak lapang, di depan kami adalah trek pendakian yang menanjak lebih mirip tebing curam bagi gue. Peralatan masak segera dikeluarkan dan bahan-bahan makanan segera dimasak. Reza dan Akbar yang memang jago masak menjadi koki kami. Tenaga gue benar-benar terkuras, gue duduk selonjoran di tanah, minum sejenak buat meredakan keringnya tenggorokan.

"Tuk...!"

Gue mendengar bunyi benda jatuh dengan keras di jalur trek yang miring di depan gue. Karena gelapnya tempat ini, gue gak tahu apa yang jatuh. Tapi gue melihat bayangan samar benda bulat bentuknya mirip buah kelapa, dan benda itu menggelinding jatuh ke bawah, dan berhenti tak jauh dari tempat gue duduk, lumayan kami bisa minum sesuatu yang segar pikir gue. Jadi, gue berniat mengambil buah itu.

Dengan semangat gue memalingkan wajah dan otomatis senter di kepala gue juga merubah arah penerangannya, sekarang yang tersorot di depan adalah tempat buah tadi berhenti, tapi yang tersorot cahaya, benar-benar membuat jantung gue mau copot. Yang gue lihat bukanlah buah kelapa, tapi sepotong kepala, dari bagian batang leher yang seperti tertebas pedang hingga kepalanya yang gundul itu nampak jelas di hadapan gue. Gue berusaha buka mulut, dan berteriak sekencang-kencangnya, manggil teman-teman gue yang di sebelah, tapi mulut gue serasa terkunci. Potongan kepala itu berbalik, melihat gue dan tersenyum menyeringai, darah keluar dari sela-sela hidung dan mulutnya. Yang gue ingat setelahnya adalah gelap.

***

Gue merasa sedang berjalan, kabut tipis di sekitar, tapi sinar matahari masih terasa menyengat di kulit. Di depan gue ada 2 orang laki-laki sedang berjalan, memakai celana hitam dan jarik jawa, di pundaknya mereka masing-masing memikul sekarung kentang dan kubis, kami berjalan menuruni lereng gunung.

"Jo, nanti aku tukar kentang ini dengan kubis-mu sepinggan, yo?" Laki-laki yang berada paling depan berbicara cukup lantang.

"Iyo mas, aku juga mau tukar kubisku dengan berasnya pak kades." jawab pria yang di belakang.

"Kapan istrimu lahiran?"

"Sebentar lagi, kata mbah Aisah bisa saat bulan purnama nanti."

"Seneng yo, paijo bentar lagi jadi bapak."

"Aku ndak sabar 'e, mas."

Gue cuma menyimak percakapan dua orang ini. Langkah kaki mereka terhenti saat di belokan, di depan kami terdengar gemuruh langkah, tak terlihat karena terhalang tebing lereng ini. Bila disimak baik-baik itu suara derap langkah orang banyak dan berat, seperti pasukan tentara. Suara-suara asing terdengar dari tikungan tersebut.

"Nippon, mas." kata pria di belakang.

"Jangan takut, Jo. Mereka hanya lewat saja, mungkin mencari belanda yang kabur bersembunyi ke gunung. Kita diam saja sampai mereka pergi."

Pria yang di depan menepi dan meletakkan sekarung kentang yang dipikulnya ke tanah, hal ini diikuti temannya. Benar, tak lama satu grup serdadu Jepang melintas lengkap dengan senjata yang mereka tenteng di depan dadanya. Seorang kapten berwajah sangar berada di berada di barisan paling depan, dengan pedang yang yang terbungkus diikat di samping pinggangnya, dan sebuah pistol di dekat perutnya.

Derap langkah yang dihasilkan sepatu-sepatu mereka terdengar sangat jelas bergema disini. Kedua orang disamping gue membungkukkan badan, dan menundukkan kepala saat para tentara ini terlihat. Gue melihat bagaimana mereka melintasi kami tanpa menoleh sedikitpun.

"Chotto matte(tunggu sebentar)." kapten di depan mengangkat tangannya, dan serentak dalam satu momen tarikan napas, semua anak buahnya menutup langkah. Hening, tak ada satupun yang bersuara.

Dia berbicara dengan seorang tentara di sampingnya dalam bahasa jepang, kemudian pria itu berlari kecil keluar barisan dan berhenti di depan dua orang ini.

Di balik KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang