BAB 8

11 4 0
                                    

Hujan kembali mengguyur, tanpa pikir panjang kami buru-buru memasuki sebuah gua di depan, baru berada di mulut gua, agaknya kedatangan kami mengusik kenyamanan penghuninya. Berpasang-pasang mata terbuka, menyala merah menatap kami, ketika Aska dan Akbar menyalakan senter dan membidik ke atas, puluhan kelelawar berada di langit-langit gua, cahaya kami mengganggu mereka, dari satu ekor kini sekoloni kelelawar terbang memutar di atas kami, suara-suara bising yang mereka hasilkan memekakkan telinga. Mereka terus terbang hingga seekor pemimpin terbang menuju pintu keluar, kawanan di belakangnya serempak mengikuti. Kami segera menunduk, tak ingin terkena cakaran atau gigitannya.

Agaknya kami lupa, tidak ada pemakluman dalam kebisingan yang kami timbulkan bagi hewan-hewan ini. Gua ini jelas rumah mereka, kami adalah tamu tak diundang yang datang tanpa permisi, dan membuat diri kami nyaman di rumah mereka. Tapi para kelelawar ini adalah binatang yang santun, walaupun dibangunkan paksa dari tidur lelapnya, mereka memilih mengalah, merelakan rumahnya kami gunakan untuk istirahat dan berteduh sejenak. Sementara diluar mereka menerjang derasnya hujan, memilih berbagi pohon dengan burung dan monyet. Ah, sungguh dermawan sekali.

"Bagi rokok, Fer. Punya gue habis." Akbar menadahkan tangannya ke arah Ferdi.

Ferdi memberikan kotak rokok yang disambut Akbar.

"Gue minta juga, mulut gue asam nih." Arga ikut mengambil rokok yang tinggal beberapa batang itu. Mereka kemudian pindah merokok di depan mulut gua.

Gue memilih berbaring dengan berbantalkan tas, diluar hari mulai gelap, karena sebentar lagi maghrib akan tiba. Api unggun menyala berkobar di tengah kami, cukup memberikan sumber hangat dari terjangan dingin hujan dan hawa gunung. Aska dan Reza disebelah gue sibuk mengeluarkan panci, kopi serta teh sachetan.

"Tes..."

Gue mengernyitkan dahi ketika setetes air jatuh ke atas kepala gue. Setahu gue, gua memang punya Stalaktit, batuan runcing di atas langit-langit gua yang mengarah ke bawah, biasanya ujungnya mempunyai lubang yang bisa meneteskan air. Gue memilih bergeser sedikit, kemudian kembali memejamkan mata.

"Tes...Tes...."

Kali ini tetesannya semakin banyak, dan luar biasanya masih menetes di kepala gue. Gue segera mengaktifkan senter di hp, mengarahkannya ke atas. Yang pertama gue lihat adalah rambut berwarna hitam awut-awutan terurai panjang. Postur tubuh wanita merangkak di atas langit-langit gua, seperti laba-laba, tidak mengenakan baju, ketika senter gue mengenai kepalanya dengan cepat dia merangkak mundur, cepat sekali, itu diluar kecepatan manusia. Gue bahkan hampir berpikir kalau gue cuma berhalusinasi.

Ketika senter gue turunkan, sosok itu datang lagi, kali ini dia memutar kepalanya.

"Srek!"

Kepalanya berputar 360%, kembali ke posisi awal. Angin yang bertiup ke dalam gua menerbangkan rambutnya, gue bisa melihat wajahnya, ada 3 bola mata, mulutnya lebar sekali hingga ke tepi wajah, giginya bertaring runcing, air liurnya jatuh menetes dari sela-sela bibirnya yang tak tertutup rapat. Ketika dia membuka mulut, lidahnya terjulur panjang ke bawah hampir menyamai panjang rambutnya. Gue ngerasa mual karena kena air liur, juga merinding begitu pandangan mata kami bertemu. Kepalanya mengikuti setiap gerakan gue, dan matanya memutar berkeliling memperhatikan kami.

Gue dengan cepat bergeser, mendekat kepada Aska yang sekarang sedang menggantung panci di atas api unggun. Sosok itu merangkak dari langit-langit ke dinding gua, sebelum menyentuh lantai. Sekarang gue baru lihat, tangan atau kakinya? berjumlah 6, 3 di kiri dan 3 di kanan. Cakar-cakar runcing dan panjang tumbuh di antara jari jemarinya. Lidahnya yang sangat panjang itu keluar, layaknya ular yang sedang mendesis. Kepalanya tegak memandang gue, dan dengan cepat berputar 360% kembali.

Kini pandangannya tertuju kepada bang Wira yang sedang mengatur ulang barang-barang ke dalam tasnya. Gue melirik ke arah api unggun, dan berjaga-jaga, memegang sebatang kayu yang sudah berkobar dengan nyala api. Selama makhluk ini tidak bergerak, gue gak bakalan bergerak juga.

Kalau lu pada nanya apa gue gak takut sekarang? Gue masih takut, tapi lebih dominan marah. Teror yang terus terjadi ini, alih-alih membuat takut, malah membuat darah gue mendidih, jiwa pemberontak gue bergejolak.

3 bola matanya yang senantiasa bergerak, berkilat-kilat terkena cahaya api. Dia melangkah mundur, dan gue dalam posisi siaga. Dengan cepat dia berlari ke arah bang Wira, secepat mungkin gue hunuskan batang kayu api ke arahnya.

Plak!

Berhasil, gue mengenai salah satu tangannya, makhluk itu mundur dan memanjat dinding dengan cepat.

"Woi, hati-hati!" seru Aska.

Saat gue mencabut kayu tadi, gerakan gue hampir menyenggol trekking pole yang dijadikan penyangga untuk panci.

"Syad, gue pitas juga ya pala lu, ngapain lu mainan api. Taruh gak?" ujar Reza galak.

"Hehe, ini lightsaber bro, gimana gue udah kayak skywalker belum?" tanya gue menggoda Reza sambil mengayun-ayunkan batang kayu, seakan-akan itu pedang lightsaber beneran.

"Syad, apinya jadi gak rata tuh, lama masaknya." kali ini Aska yang berbicara.

Gue pun memasukkan batang kayu itu kembali ke api unggun. Mata gue menerawang ke atas, ke langit-langit gua.

"Kenapa, Syad? Masih ada kelelawar?" tanya Aska.

"Gue lihat laba-laba besar tadi."

"Oh, mungkin memang tinggalnya disini."

"Iya."

Mata gue terus memandang awas ke sekitaran, setelah memastikan makhluk gaib itu gak muncul kembali, gue melangkah ke depan, mendatangi geng cowok yang lagi merokok di mulut gua. Ferdi menaikkan alisnya memandang gue mendekati mereka.

"Lu mau merokok?"

"Kagak, gue cuma mau lihat pemandangan di luar."

Gue melipir ke pinggir-pinggir, menjauh dari asap rokok mereka. Di sebelah gua, gue melihat vegetasi yang didominasi pohon-pohon bambu tinggi. Rintik hujan yang mulai berhenti membuat gue melangkah ke luar, kontur tanah yang naik turun ditumbuhi pohon bambu, dan daun-daun bambu kering berwarna kuning kecoklatan terhampar di sepanjang hutan ini.

"Syad, jangan jauh-jauh." teriak Akbar.

"Beres. Cuma cuci mata aja, dekat sini."

Gue mengamati hutan bambu, beberapa lubang terlihat di tanah, di bawah pohon bambu. Gue pernah nonton kalau banyak ular kobra dan raja kobra bersarang di sekitar bambu. Dengan bantuan trekking pole, gue sibak daun-daun yang menutupi lubang. Gue gak tau sedang dirasuki apa, tapi rasa penasaran gue atau jiwa bodoh gue sedang bangkit, gue sedang dalam misi cari penyakit dengan menelisik lubang yang isinya bisa saja benar-benar ular ini.

Satu lubang gue pukul-pukul bagian atasnya, tapi tak ada respon. Gue berniat pindah saat mendengar suara desisan, mirip suara ular yang sering gue dengar di tv, langkah kaki gue berhenti. Gue balik ke lubang tadi, suara desisan masih terdengar, bukan dari sini. Gue hendak melangkah makin dalam, ketika pundak gue ditepuk, gue terkesiap kaget. Hampir saja trekking pole di tangan gue hantamkan ke belakang, saat suara Arga terdengar.

"Eits, tahan-tahan, gak boleh emosian, bos."

Teman-teman gue sudah berkumpul di depan gua, Arga datang menjemput gue.

"Udah selesai ngerokoknya?" tanya gue.

"Udah, kopi sama teh nya juga dimasukkan ke termos aja, biar bisa diminum di jalan nanti." jelasnya.

Arga berbalik dan gue mengikutinya, mengambil tas yang dipegang Reza, gue melirik ke belakang, sebenarnya gue masih penasaran dengan suara desisan itu. Tapi biarkanlah itu menjadi misteri, karena tak setiap hal di dunia ini mesti diungkap.

Di balik KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang