BAB 9

10 2 0
                                    

Matahari beranjak dari peraduannya, malam mulai datang. Tapi bulan tak tampak di keheningan hutan, keadaan yang gelap memaksa kami menggunakan senter-senter di kepala. Raga-raga yang lelah juga membuat pikiran kami diliputi hal-hal negatif. Untung gue pake baju lengan panjang, gue males bebani otak dan tubuh gue dengan pikiran ngawur. Gesekan tangan dengan dedaunan atau semak belukar itu beda persepsinya saat malam, otak gue bisa ngasih gue pikiran kalau tangan gue dielus atau dipegang makhluk halus, hanya karena gesekan kecil dengan benda di sekeliling gue. Karena gelap dan dingin itu perpaduan yahud untuk buat pikiran gue melanglang buana.

Berlawanan arah dengan hutan bambu tadi kami terus naik ke atas, kami mengikuti jalan setapak yang seperti sering dilalui manusia. Mungkin digunakan penduduk lokal untuk berkebun, karena gue melihat karung-karung yang diikat ke pohon. Kalau gue sendiri, gue pasti parno dengan pemandangan putih-putih ini.

"Syad, gue sakit perut nih?" kata Reza yang membuat gue memutar badan memandang dia.

"Sakit perut beneran atau sakit perut karena panggilan alam?"

"Panggilan alam nih, temenin gue yuk."

"Bentar bilang yang lain dulu."

"Bang, gue mau ngantarin Reza, dia mo BAB."

Bang Wira dan yang lain berhenti.

"Ya udah, ditemanin 1 orang lagi ya. Gue atau lu, Fer?"

"Lu aja, bang."

Reza menurunkan tasnya, dan membawa sebotol air besar.

"Ayo, gue kebelet banget nih."

Akhirnya gue, Reza, dan bang Wira, menepi masuk ke hutan, dan Reza dengan cepat berlari ke salah satu pohon untuk memberi pupuk alami. Gue dan bang Wira menunggu di tengah jalan.

"Gue kebelet juga, mau pipis. Lu tunggu disini, Syad. Jangan kemana-mana." pesan bang Wira.

Dia kemudian berjalan ke balik salah satu pohon. Gue yang akhirnya tinggal sendiri, cuma celingukan. Riuhnya suara tonggeret jadi irama yang menemani gue, dan gue lihat sinar-sinar yang berterbangan, oh, kunang-kunang, hewan yang langka bagi gue yang sekarang tinggal di perkotaan. Gue tertarik untuk lebih mendekati binatang ini, sekedar mengambil dokumentasi berupa video atau foto untuk kenang-kenangan.

Gue bersiap dengan senter yang gue arahin ke bawah, agar tidak mengganggu para kunang-kunang yang berterbangan di dahan pohon itu, dan ponsel di tangan. Gue mulai merekam video, kunang-kunang yang bersinar terang, kontras dengan gelapnya suasana hutan, diiringi orkestra tonggeret sebagai latar musiknya benar-benar sesuatu yang mewah bagi gue.

Sinar kunang-kunang yang berkelap-kelip karena mereka yang terbang mengitari pohon, terlihat indah. Gue ingat cerita waktu kecil, nenek gue selalu bilang kalau kunang-kunang itu kukunya orang mati. Sebenarnya itu mitos yang sangat tak masuk akal. Tapi gue dulu takut banget jika bertemu hewan satu ini.

Cahaya kunang-kunang yang berwarna kuning, pelan-pelan memudar berganti menjadi putih. Gue melihat warna putih sekarang dominan diantara cahaya kuning yang kecil-kecil. Lama kelamaan, warna putih ini menjadi padat, membentuk sosok wanita berbaju putih sedang duduk santai di dahan pohon, kakinya berayun-ayun, rambutnya panjang menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Gue yakin ini kuntilanak, seperti yang digambarkan di film-film horor. Senter yang semula menyorot ke bawah segera gue arahkan ke dahan pohon itu.

Merasa terusik dengan terangnya cahaya senter, kuntilanak ini terbang di depan mata gue, dia berpindah ke pohon di seberang, melintas dengan cepat sambil tertawa cekikikan.

"Hihihi...."

Rasanya dengkul gue lemes, gue pengen lari dari tempat ini, tapi kaki gue gak bisa diajak kompromi, alih-alih melangkah, kaki gue rasanya terpaku di atas tanah ini. Akhirnya gue cuma bisa menjerit kayak cewek.

"Tolong!"

Jeritan gue memancing perhatian teman-teman gue, mereka segera berhamburan berlari ke arah gue. Bang Wira yang memang berada di dekat gue, tiba paling pertama.

"Ada apa? Ada apa, Syad?"

"Ada kuntilanak, bang?"

"Dimana?"

"Itu diatas pohon itu tadi."

Bang Wira segera menyorotkan senternya ke arah yang gue tunjuk. Tak lama teman-teman gue yang lain sampai dengan muka panik mereka, begitu juga Reza.

"Kenapa? Ada apa? Lu gak apa-apa, Syad?"

Pertanyaan mereka langsung muncul bersamaan.

"Gue liat kuntilanak."

"Lihat dimana, Syad?"

"Itu di atas pohon itu tadi, Bar."

Seperti bang Wira tadi, sontak mereka semua juga menyorotkan senter ke pohon yang gue tunjuk. Dan nihil, gak ada apa-apa, seperti biasa yang digangguin cuma gue, dengan kondisi kami yang ramai begini, makhluk itu gak bakal menampakkan wujudnya.

"Gak ada, Syad." kata Ferdi.

"Udah hilang, Fer."

"Kok bisa cuma lu sendiri yang ngeliat?" tanya Akbar.

"Tadi gue kebelet, jadi gue pipis disana."jawab Bang Wira.

"Iya, tadi gue cuma sendiri disini."

"Syad, ntar kalo lu liat lagi, lu bilang sama dia, mau tuker daster gak? kasian bajunya gak ganti-ganti."

"Amit-amit dah Fer, gue ketemu yang begitu lagi."

"Lu kebanyakan bengong. Sini gue baca-bacain kepala lu, biar ilang pikiran lu."

"Ogah, jadi gila dong gue."

"Ngomong-ngomong lu udah cebok belum, Za?" tanya Arga.

Kami semua langsung melihat ke arah Reza dan menutup hidung menjauh.

"Enak aja, udah tau. Gue cuma belum cuci tangan, nih mau nyium?" katanya sambil menyodorkan tangannya.

"Jijik, najis Reza goblok." kata gue menghindar dari anak tengil satu ini.

Untungnya kelakuan teman-teman gue membuat rasa takut gue yang tadi tinggi sekali jadi hilang.

***

Semakin jauh kami berjalan, kami semakin masuk ke dalam hutan. Dari jauh gue mencium wangi harum yang sangat menyengat di hidung. Aroma khas dupa atau setanggi sangat kuat menyapa kami dipadukan dengan gelapnya hari, pohon-pohon besar nan menjulang tinggi, dan sesajen menambah mistiknya suasana hutan di sekitar kami. Langkah kaki kami menjadi pelan, rimbunya pepohonan di atas kepala kami, memaksa bulan yang tak terlihat untuk semakin mengalah, cahaya sinarnya yang tak mampu menembus tempat ini, menambah kesan suram dan kelam bagi hutan gelap ini.

Dari kejauhan sebuah pohon tampak menjulang tinggi, mencolok di penglihatan daripada pohon disekitarnya yang lebih pendek. Begitu didekati gue baru tahu dari Aska, itu pohon Rasamala, yang tingginya bisa sampai 60 meter. Gue akhirnya tahu darimana sumber wangi tadi berasal. Banyak sesajen disini, beserta dupa yang hampir habis terbakar, ditaruh dibawah pohon Rasamala.

Gue berharap ada ayam bakar, nasi, atau paling minim buah kelapa muda, yang setidaknya bisa gue cicipi, tapi tidak ada. Isi sesaji yang gue lihat kebanyakan jagung mentah, rokok, kopi, dan paling banyak bunga kembang setaman yang warna-warni. Payah, mau naruh sesajen pilih paket yang ekonomi, tapi kepengen kaya, mentalnya gak beda dengan orang yang sedekah 2 ribu rupiah tapi pengen masuk surga. Agaknya setan akan tertawa puas melihat manusia-manusia lucu jaman ini.

"Lu lihat apaan, Za?" tanya gue melihat Reza yang menatap sesajen dengan serius.

"Gue nyari makanan, Syad. Biasanya ada ayam atau buah-buahan di sesajen kayak gini."

Oh, sama saja pemikiran kami berdua.

"Gak ada ya?" tanya gue dengan senyuman lucu.

"Antara yang naruh pelit, atau udah dimakan sama hewan-hewan sekitar sini." celetuk Aska.

"Bentar lagi jadwalnya kita makan, sekalian sholat maghrib." lanjutnya.

Di balik KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang