BAB 3

9 5 0
                                    

Setengah jam perjalanan, rintik-rintik hujan mulai turun, lama kelamaan hujan rintik berubah menjadi hujan deras, kami semua bergegas memakai jas hujan. Mencegah kedinginan atau paling parah hipotermia di gunung, yang merupakan mimpi buruk pendaki. Bang Wira menginstruksikan kami tetap berjalan, daripada berteduh di antara pepohonan yang dikhawatirkan akan ada petir yang menyambar. Beruntungnya dengan adanya pepohonan, kami sedikit terlindungi dari angin.

Kami terus melangkah, sekarang medan jalanan berubah menanjak, aliran air hujan yang turun membuat jalur pendakian yang berupa tanah menjadi licin dan becek. Jalanan yang terkena hujan pun menjadi lumpur. Disini semua peralatan kami diuji, terutama sepatu yang harus kuat mencengkeram tanah, bila tidak resiko tergelincir harus kami hadapi.

"Awas licin." Bang Wira di depan tak henti memberi kami instruksi. Maklum di antara kami semua, 3 orang adalah pendaki pemula. Tapi baru beberapa menit dia mengatakannya Arga terpeleset saat menginjak akar pohon berlumpur yang menyembul, dia jatuh terduduk. Kami bergegas menolongnya, dan setelah yakin dia baik-baik saja, kami membuktikan bahwa kami adalah sahabat dekatnya dengan tertawa.

"Baru juga dibilangin, dah bandel aja. Papa Wira ini anaknya satu nggak mau dengar omongan, nih." canda Reza.

"Jewer aja kupingnya, Za." Ferdi menimpali.

"Resek lu pada, temannya jatuh malah diketawai." dumel Arga.

"Disitulah tantangannya, Ga. Kalau jalanan yang lu laluin mulus, gak bergelombang, hidup lu gak menantang dong." kata Reza.

"Hush, gak boleh takabur disini." sela bang Wira.

Kami pun mulai melangkah lagi, sekilas gue seperti melihat ada seorang anak yang duduk sambil memainkan batang kayu di tempat Arga jatuh tadi. Tapi ketika gue menoleh kembali sosok yang tadi gue lihat sudah tidak ada. Ah, mungkin halusinasi aja, pikir gue.

Perlahan hujan mulai reda, tapi satu dua tetes rintiknya masih bisa gue rasakan. Dari kejauhan gue melihat sebuah bangunan seperti pos ronda. Dan gue melihat ada satu grup orang yang sedang berteduh disana. Bang Wira yang berada di depan menunjuk bangunan itu dan berkata,

"Nanti kita istirahat sebentar disana, hangatin badan sejenak."

Kami mengangguk setuju. Dan mempercepat langkah, bayangan secangkir kopi atau teh hangat sangat menggoda sekarang ini. Pos itu sekarang berada di depan mata kami, bang Wira sudah masuk duluan kesana, dan meletakkan tas carriernya, dan membuka jas hujan. Disusul oleh Aska, ketika gue masuk, gue menaruh tas carrier, tapi habis itu celingukan melihat ke kanan-kiri.

"Kenapa Syad?" tanya Reza yang berada dibelakangku ikut celingukkan.

"Tadi ada orang kan disini?"

"Gak ada, lu jangan nakut-nakutin gue ya."

"Masa sih? Apa gue salah lihat tadi? Beneran bang, gak ada orang tadi disini?"

"Gak ada, Syad. Mungkin efek hujan tadi jadi lu bayangin ada orang disini. Lihatnya juga dari kejauhan kan?" kata bang Wira.

"Iya, bang."

"Biar gak penasaran, ayo lihat ke belakangnya. Yang lain masak air ya."

"Cakep...." jawab Arga dan Ferdi kompak.

Dikira pantun kali, gue senyum-senyum aja, sambil ngikutin bang Wira mengelilingi pos ini. Iya, gak ada orang, mungkin tadi hanya ilusi karena jarak pandang aja. Enaknya sama bang Wira, ya gini, dia benar-benar ngayomi kami semua. Sosok leader di grup, beda usia kami cuma 2 tahun sebenarnya, tapi dari sikap dan sifat dia kayak beda 10 tahun. Gue selama ini kelamaan bergaul dengan yang modelan reza gitu, ya jadi sifat gue rada-rada mirip remaja labil yang masih suka hura-hura.

Di balik KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang