Jalur pendakian makin lama makin menyempit, dan anehnya daerah yang kali ini kami pijaki ini tidak sama dengan yang sebelumnya, seperti jarang dilalui manusia. Kabut mulai menipis, pohon berganti menjadi rumput-rumput tinggi sebatas pinggang di kanan dan kiri, langit mendung dan gelap berubah menjadi temaram, remang-remang seperti waktu bagi sandekala menunggu datangnya maghrib. Selain rumput tinggi dan batuan besar, seperti tidak ada kehidupan disini.
Bang Wira berhenti melangkah, otomatis kami semua ikut berhenti.
"Ferdi, Akbar, sini dulu,"panggilnya.
Ferdi dan Akbar maju ke depan, lalu bersama Aska dan bang Wira mereka bergerak sedikit menjauh dari kami. Mereka tampak berdiskusi tentang sesuatu sambil menunjuk-nunjuk ke arah selatan. Gue, Reza dan Arga hanya saling pandang.
"Syad," panggil Reza.
"Apa, Za?"
"Menurut lu kita tersesat gak?"
"Lu merasa begitu juga, Za?"
"Iya, lihat aja, rumput-rumput tinggi begini, gak ada jalan setapak yang bisa dilalui. Walau gue gak pernah naik ke gunung, setidaknya tadi masih ada jalan yang sering dilewati manusia."
"Za, Syad," kali ini Arga yang memanggil kami.
"Itu ada orang, mau nanya gak?"
Gue melihat sepasang pendaki, karena pakaian dan tas yang mereka gunakan, cowok dan cewek masih muda. Mereka datang dari sisi yang berlawanan, gue melirik keempat teman gue yang masih asyik berdiskusi.
"Kita tunggu mereka lewat, ya." kata gue.
Kedua teman gue ini lantas mengiyakan. Kami bertiga menatap kedua pendaki itu. Tapi seperti ada yang ganjil dengan mereka. Gue kayak nonton adegan film zombie, tatapan mereka kosong, bagaikan tak memiliki nyawa, trekking pole yang ada di tangan pun hanya diayunkan dan yang perempuan malah menyeretnya. Gue melihat kaki mereka, masih menapak di tanah. Begitu mereka hampir mendekati kami, gue segera berkata,
"Jangan, Ga." Seru gue spontan.
Arga yang hendak membuka mulutnya, menatap gue heran. Gue cuma menempelkan jari ke bibir, memberikan isyarat untuk diam. Gue melangkah mundur, memberikan ruang bagi kedua orang itu untuk berjalan, diikuti Reza dan Aga. Kedua pendaki itu melewati kami bertiga berjalan menuju ke bongkahan batu setinggi manusia. Mereka merangsek masuk, menerobos rumput-rumput tinggi. Gue, Reza, dan Arga terus mengamati, kabut yang tipis masih memberikan kami cukup ruang untuk melihat pemandangan yang gak akan gue lupakan. Mereka berjalan lurus dan menembus batu besar itu, benar-benar tembus seperti gak ada apa-apa di depannya. Gue menatap Arga, yang balik menatap gue dan Reza.
"Lu lihat, kan?" tanya Arga.
"Stt." kali ini giliran Reza yang memberi kami isyarat untuk diam.
"Ceritanya nanti aja kalau udah di bawah," ujarnya menambahkan.
Kami berdua mengangguk setuju, dan menunggu diskusi keempat orang itu. Ferdi kemudian melangkah menyusul kami.
"Ayo, kesana." tunjuknya.
Begitu kami mendekat gue melihat Aska memegang selembar peta, gue membatin, benar, kita tersesat.
"Kita balik lagi, lewat jalan tadi." Bang Wira mengeluarkan suaranya.
"Sesat ya, bang?" tanya gue sekadar penasaran aja.
"Iya, untungnya kita belum jalan jauh. Yuk, langsung ntar keburu malam."
Gue cuma berharap kami semua bisa keluar dari tempat ini, Reza dan Arga juga lebih banyak diam, padahal sepanjang perjalanan mereka ngebanyol terus. Beberapa menit kita melewati dua buah pohon trembesi dan jalur pendakian terlihat. Gue seneng banget, Arga malah langsung sujud syukur, yang ditanggapi teman-teman gue dengan tatapan aneh, tapi gue dan Reza yang tahu alasannya cuma senyum aja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di balik Kabut
HorreurIrsyad dan keenam sahabatnya, Wira, Aska, Reza, Akbar, Arga, Ferdi mendaki gunung untuk mengisi libur semester sebelum mereka liburan ke kampung halaman masing-masing. Pendakian yang seharusnya menyenangkan ini berubah menjadi momok bagi Irsyad yang...