Akhirnya setelah menempuh ratusan kilometer, kami sampai di puncak yang diidam-idamkan. Gue rasanya ingin menangis melihat pemandangan di depan. Deretan gunung-gunung di seberang mata, dengan langit penuh bintang dan bulan yang cantik di atas kepala. Di bawah sana, manusia pun tak mau kalah, lampu-lampu kota terlihat berkilauan selayaknya bintang dilihat dari puncak gunung ini.
"Yuhu!!! gue sampai puncak, boss. Alhamdulillah ya Allah." Seru Reza heboh.
Kami semua saling pandang dan kemudian memeluk satu sama lain, perjalanan panjang yang diselingi cerita terpeleset, tersesat, keluar jalur pendakian ternyata berhasil kami lalui. Dan disini kami sekarang berada. Di puncak sob, ini pelajaran hidup berharga banget buat gue. Selama kita gak berhenti melangkah, walaupun yang kita lalui itu pedih, mengerikan, membingungkan, ataupun menyedihkan jangan putus asa, tetaplah melangkah, walaupun tertatih, gak apa-apa kalau beristirahat sekali-kali, atau sering-sering untuk mengobati hati dan semangat yang terluka, asal tetap kembali bergerak kita bakal sampai di tujuan. Gila keren banget dah gue.
Gue mengambil nafas panjang, menghirup udara gunung yang segar sampai ke paru-paru.
"Za, lihat deh."
"Apa?"
Gue merentangkan kedua tangan, menutup mata dan kembali menarik nafas, kali ini lebih dalam dan lama, kemudian menghembuskannya.
"Ahh, oksigen di puncak emang beda, bro. Lebih segar, kayak ada manis-manisnya." ujar gue sambil menirukan iklan.
"Hahaha, gaya lu. Tadi aja nangis, mau nyerah."
Teman-teman yang lain tertawa melihat kami. Perjuangan kemari memang bukan main-main. Gue duduk di tanah, melepaskan tas yang beratnya makin terasa. Bang Wira udah ngeluarin tenda dari tasnya, kita segera bantuin. Di sampingnya Ferdi juga mulai memasang tenda, setelah itu sebagian dari kami masuk ke dalam tenda mengganti baju yang sudah tak tentu baunya dengan pakaian kering dan nyaman serta tebal.
Alat-alat masak dan makan kembali digelar. Aska dengan sigap menyalakan kompor, perut-perut sudah menjerit minta diisi. Beruntungnya banyak ranting-ranting kayu yang bisa kita gunakan untuk membuat api unggun. Dan angin yang tidak terlalu kencang malam ini cukup membantu kami.
"Gak nyangka gue, bakalan sampai ke puncak." Arga membuka pembicaraan.
"Gue juga, gue udah mau nyerah aja tadi, balik turun." timpal Reza.
"Foto dulu yuk, buat kenang-kenangan."
Ferdi sudah siap dengan kamera di tangan, kami semua sontak berpose ganteng dengan gaya masing-masing.
"satu, dua, ti.... say cheese."
"Cheese."
Serentak senyum tiga jari tergambar di masing-masing wajah kami, cuma si cool Aska yang senyum tipis.
Habis makan dan bernyanyi tak jelas, kami masuk ke tenda masing-masing. Gue setenda dengan Reza dan bang Wira. Karena kecapean begitu masuk tenda, kami segera masuk ke dalam sleeping bag masing-masing dan tepar, terbawa ke alam mimpi dengan cepat.
Gue terbangun karena mendengar sayup-sayup suara musik, siapa sih yang kurang kerjaan buka musik malam-malam begini.
"Astaghfirullah!!!" teriak gue kaget.
"Lu ya, ngagetin orang aja." gue langsung ngegeplak kepala Reza, bang Wira jadi ikut terbangun mendengar teriakan gue. Gimana gak kaget, saat gue buka mata, muka dia pas banget di depan mata gue, gue pikir setan tadi.
"Kenapa, syad?"
"Gak apa-apa bang, kaget aja dengan kunyuk satu ini." kataku.
"Sst" kata Reza dengan menempelkan jari ke bibirnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/317888312-288-k135566.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Di balik Kabut
HororIrsyad dan keenam sahabatnya, Wira, Aska, Reza, Akbar, Arga, Ferdi mendaki gunung untuk mengisi libur semester sebelum mereka liburan ke kampung halaman masing-masing. Pendakian yang seharusnya menyenangkan ini berubah menjadi momok bagi Irsyad yang...