BAB 13

14 3 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kali ini, di langit sana bulan mulai menampakkan diri. Tak ragu membantu kami menyinari jalan yang kami telusuri. Bulan purnama pikirku. Cahaya bulan yang tidak tertutupi awan malam ini benar-benar terang, membuat gunung yang semula gelap gulita menjadi bercahaya. Tersihir dengan kecantikan bulan malam ini, gue lebih banyak mendongak ke atas, hamparan langit berbintang terlukis disana.

Nafas-nafas berat yang kami hembuskan menandakan betapa beratnya jalur ini, tanjakan ekstrim kembali menyambut kami disini. Dengan medan yang didominasi tanah bercampur pasir, kaki gue makin berat diajak melangkah.

"Syad, hosh...hosh..., bagi minum." Reza meminta dengan nafas yang sudah ngos-ngosan.

Gue memberikan botol air yang langsung disambar oleh Reza. Suara kerongkongannya bahkan dapat gue dengar, tegukannya yang cepat menegaskan betapa hausnya dia saat ini. Gue sendiri sudah kepayahan untuk tetap mengejar langkah teman-teman yang lain, disini perbedaan gue yang pemula dengan pendaki senior seperti bang Wira dan Ferdi jelas terlihat.

"Ka, istirahat bentar." pinta gue sambil mencolek Aska dengan trekking pole. Gue bahkan udah gak sanggup untuk bicara keras, tenggorokan gue kering.

"Bang, Istirahat dulu." Aska yang menyampaikan niat gue.

Rombongan segera berhenti, Arga dan Reza segera duduk, sementara gue langsung merebahkan badan di atas pasir-pasir hitam. Bangun sebentar untuk minum, setelah itu kembali berbaring. Akbar dan Ferdi mendekati Arga dan Reza yang sama kelelahan seperti gue.

Di atas sana, seekor burung terbang memutari kami, gue sebenarnya heran, karena setau gue tidak banyak burung yang beraktivitas di malam hari, kecuali burung hantu dan kelelawar.

"Kwa...kwak...." Suara lantangnya memecah keheningan malam yang selama ini didominasi desir angin.

Burung berwarna hitam itu terus saja terbang melintas, padahal di sekitar gue tidak ada pohon untuk dia bertengger. Hingga dia terbang rendah dan mendarat di batu dekat Akbar. Burung ini benar-benar hitam dari warna bulu hingga bola matanya yang besar berwarna senada.

Gue menelisik burung unik ini, dia tidak takut dengan manusia. Mengembangkan sayapnya, dan terus saja berbunyi, kwa...kwak.... Gue berinisiatif memberi minuman, mungkin dia haus, menumpahkan sedikit air di tutup botol dan menaruhnya di pinggir batu yang cukup rata. Burung itu tidak terusik dengan semua gerakan gue. Dia hanya diam, tapi matanya yang besar seakan-akan menarik gue untuk terus melihatnya.

TIba-tiba dunia di sekitar gue berbeda, disini sangat terang benderang. Di depan gue ada sebuah gerbang besar, dengan 2 orang laki-laki berbadan tinggi tegap, berpakaian tradisional jawa kuno, mereka memegang tombak dan perisai. Berdiri di bawah gapura gerbang itu, seolah-olah mereka adalah penjaga.

Bagaikan tersihir kaki-kaki gue melangkah mendekat, berusaha mencari tahu apa yang ada di balik gerbang tinggi nan megah ini. Kedua penjaga ini tak bergeming ketika gue semakin mendekat, pun saat gue menyentuh ukiran-ukiran elok di gerbang kayu megah ini. Decak kagum terbesit dalam hati, bagaimana majunya jiwa seni para nenek moyang kita. Seperti ukiran di candi-candi yang pernah gue kunjungi.

Di balik KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang