BAB 14

8 3 0
                                    



POS 5, setelah sekian lama akhirnya kami bisa melihat tulisan itu. Perjuangan yang sangat berat, tapi sepadan, dari sini gue bisa melihat puncak gunung. Perlu setengah jam lagi memang, tapi tujuan sudah nampak di depan mata membuat gue lebih bersemangat. Kami berhenti sebentar di depan papan penunjuk itu.

"Pos 5, bro." seru Arga girang. Gue senyum makin lebar di depan kami puncak gunung bisa dijangkau mata.

"Za, puncak tuh." tunjuk gue.

"Iya, syad. Alhamdulillah, nyampe juga kita."

"Syad, coba lihat di belakang sana, di samping pohon besar itu."

Bukannya melihat kearah yang gue tunjuk, Reza malah balik menunjuk ke balik punggung gue. hamparan bunga daisy yang bermekaran terlihat eksotis terpantul cahaya bulan, diantara rimbunnya pepohonan besar, bunga-bunga itu mencuat mewarnai hijaunya alam dengan putihnya mereka, seperti melambangkan kesucian di tengah kehidupan.

Dan sebagai anak muda yang mengerti teknologi, momen ini segera gue abadikan dalam rekaman video, sementara Aska sudah bersiap dengan kamera sultannya. Anak-anak yang lain pun, sudah sibuk berselfie. Dirasa kurang puas, gue semakin mendekat, melewati pohon-pohon besar. Sayangnya, gue gak bisa memetik sembarangan bunga-bunga ini. Sebenarnya ingin gue bawa pulang barang setangkai atau dua, buat ditanam lagi dirumah.

"sst, Syad." panggil Akbar.

"Ngapa, bar?" tanya gue heran.

"Liat diatas pohon, pelan-pelan aja." tunjuk Akbar ke atas kepala gue.

Gue menoleh ke atas, yang terlihat hanya daun-daun lebat.

"Gak ada apa-apa." jawab gue.

"Mundur dikit deh, tapi pelan-pelan, jangan berisik."

Gue mengikuti arahan Akbar, dengan hati-hati gue mundur, mata memandang awas ke atas pohon. Dan di langkah yang kesekian, baru gue sadar apa yang Akbar maksud. Seekor ular sawah sedang merayap lamban, menuju ke arah seekor monyet yang sedang tidur. Gue bingung antara mau bangunin si monyet atau membiarkan ular makan. Bang Wira lebih memilih mendokumentasikan semua dari balik kameranya.

"Jika ularnya bisa memangsa monyet berarti itu rezeki dia hari ini, jika monyetnya selamat berarti belum takdirnya dia mati sekarang. Ini memang rumah mereka, sudah kehendak alam."

Kami bersepakat dalam diam, masing-masing sibuk melihat ke atas pohon, menanti apakah monyet atau ular yang rezekinya baik malam ini. Dan gigitan pertama dari ular diikuti lilitan yang cepat di sekujur badan si monyet malang, hanya sedikit pergulatan yang terjadi sebelum monyet kehabisan tenaga dan menjadi makan malam ular.

Haah, gue menghela nafas panjang, mengalihkan pandangan dari atas pohon, gue melangkah menjauh, melipir agak ke ujung pepohonan, gue kembali melihat padang bunga daisy. Sepintas dari ekor mata, gue melihat seorang wanita berdiri di tengah padang bunga. Gue coba sekali lagi menengok, takut pandangan gue cuma bayangan. Itu dia, agak ke belakang, wanita itu masih di sana. Gue seperti merasakan dejavu, Wanita itu adalah putri yang tadi gue lihat di sebelah kujang pusaka, sekarang dia berdiri di depan gue, masih mengenakan pakaian para putri kerajaan, berdiri tegak dengan kedua tangan tersimpul di perutnya, selendang tersampir di siku-siku tangan, mahkota putih tersemat anggun di atas kepalanya. Menyadari gue memandangi dirinya, putri itu tersenyum santun, dengan gaya elegan sang putri memberi salam, menumpuk kedua tangan, badannya sedikit ditundukkan, gue otomatis ikut menurunkan bahu dan menunduk membalas salam sang putri.

"Auh," gue mengaduh kesakitan, di belakang Reza tersenyum jahil.

"Ngapain, lu? Sendirian senyum-senyum gak jelas, kesambet nanti." tegurnya.

"Bunganya cantik, Za."

"Iya, gue juga tau."

Sang putri masih tetap disana, dengan senyum yang tak juga lepas. Bunga daisy disekelilingnya bergoyang-goyang menari disapu angin. Namun, rambut sang putri yang tergerai bebas tak sedikitpun bergerak. Gue teringat dengan kujang kecil di saku ransel, gue berniat balikin, sebenarnya gue rada ngeri dan seram simpan barang yang berhubungan dengan alam lain kayak gini.

Jadi gue melangkah mendekat, berjalan hati-hati, berusaha tidak menghancurkan bunga-bunga yang gue lewati. Ketika jarak gue dan sang putri hanya selebar rentangan tangan, gue segera merogoh kocek dan mempersembahkan kujang tadi, dengan tangan kiri dibawah memangku tangan kanan.

Gue berucap dalam hati,"Terima kasih atas hadiahnya ini, tetapi mohon maaf sekali saya tidak bisa menerima kemurahan hati anda, biarlah pertemuan saya dan dunia anda menjadi pembelajaran hidup bagi saya, dan itu adalah hadiah yang luar biasa berharga untuk hidup saya. Silahkan diambil kembali, mungkin satu waktu nanti ada yang lebih membutuhkan dibandingkan saya."

Tangan gue tetap terulur, tapi sang putri tersenyum dan menggelengkan kepalanya, seakan menolak menerima kembali kujang yang gue sodorkan. Hati gue harap-harap cemas, karena gue teringat video youtube yang pernah gue tonton. Salah satu youtuber horror pernah bilang kalau menerima barang-barang pemberian ini bakal diikutin sama makhluk penunggunya, jadi barang ini hanya simbol perjanjian kalau kita setuju.

Beberapa menit berlalu, tapi sang putri belum juga bergerak mengambil kujang dari tangan gue. Gue menatapnya sekilas kemudian kembali menundukkan pandangan, tak berani memandang lama-lama. Pesona sang putri terlalu membuat gue minder.

"Syad, woi. Lu ngapain disana? Lanjut jalan, bro."

Teriakan Reza membuat gue memberanikan diri, kujang itu gue taruh di tanah, di depan sang kaki sang putri. Dengan cepat gue melangkah pergi, dalam hati gue cuma berani ucapin,"Maaf, maaf."

Gue menoleh sebentar, sang putri masih berdiri disana, memandangi kepergian gue dengan tatapan yang tak terbaca.

***

Meninggalkan pos 5, kaki-kaki gue tiba-tiba terasa berat, sangat berat seperti diikatkan ke batu besar. Medan yang gue lalui memang tanah berpasir yang menanjak, tetapi sangat tak masuk diakal gue bisa secapek ini. Gue berusaha mengatur nafas, agar pikiran gue tidak gampang cemas, cukup badan gue yang letih, otak gue harus jernih.

Cahaya-cahaya senter masih ber sorotan menjadi sumber penerangan utama kami, cahaya bulan yang terang kadang menjadi gelap tertutup awan-awan tebal. Beberapa tempat dibatasi garis-garis kuning yang terlihat mencolok bahkan di kegelapan malam.

"Lihat yang ada garis kuning?" Bang Wira berkata sambil menyorot garis dengan senter. Gue mengikuti arah pandangannya.

"Kenapa, bang?"

"Itu tanda di tepinya itu jurang, jadi kalau ketemu tanda itu gak boleh diterobos, kontur jalannya dipenuhi pasir, terus dari situ jalurnya menurun, ada yang curam, ada yang landai. Pemandangan sekitar nya bagus banget. Pendaki yang keasyikan melihat panorama indah itu, gak fokus lagi dengan jalannya, gak merhatiin udah di ujung jalan, jadi banyak yang jatuh langsung ke jurang. Konon mitosnya, di bawah pasir itu, kita bisa nemuin serpihan tulang-tulang pendaki yang jadi korban."

"Seram amat, bang."

"Ya, begitulah. Secantik-cantik alamnya, gunung memang tempat yang berbahaya bagi yang gak mengenalnya"

"Lu mau lihat, Syad?" kali ini Ferdi yang bertanya.

"Kalau seram gak ah, ngeri gue."

"Di temenin dong. Masa' iya kita ngelepas lu kesana sendiri, lu aja yang suka nyelonong sendirian, gak bilang-bilang."

"Hehehe... ya maaf." jawab gue cengengesan, gue mau cerita ke mereka semua yang gue alami, tetapi nanti di bawah saja, setelah tiba di basecamp.

Di balik KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang