02 Agustus 2022
Ini bukan kisah hari ini. Melainkan kisah dua hari yang lalu. Ketika aku tengah memijit kaki ibuku.
Entah kenapa ketika sedang memijit kaki ibukku di malam hari itu. Aku yang memang sedang berbincang kecil bersama ibukku tiba-tiba saja teringat akan masa-masa kecilku yang absurt dan penuh dengan kekepoan. Yang ternyata tingkahku itu tidak jauh berbeda dengan tingkah ibuku semasa kecil, ketika aku tak sengaja menceritakan pemikiran masa kecilku yang menurutku aneh dan belum terjawab sampai sekarang kepada ibuku.
Dulu sewaktu kecil. Aku suka sekali bermain di ladang sawah belakang rumah kakek dan nenekku yang luas sekali dengan jalan setapak yang memaniskan pemandangan sawah itu. Tak lupa aliran air sungai membahasi tempatnya dengan begitu apik.
Terkadang aku hanya sekedar melamun sambil duduk di pinggiran bantaran sungai. Atau terkadang juga aku terjun ke dalam sungai itu hanya untuk berenang dan mencari anak kepiting yang lalu aku bunuh satu persatu karena takut, ngeri sekaligus gemes. Sadis sih. Tapi dulu sewaktu kecil gemes aja gitu.
Oh ya. Terkadang juga aku bermain layang-layang bersama adik sepupuku, teman lelakiku atau paman ku disekitar sawah itu.
Sungguh mengingatnya sangat asyik sekali dan mengangenkan.
Oh iya aku ingat lagi! Dulu sewaktu kecil, aku juga pernah. Ketika sendiri. Aku bermain di area persawahan. Aku mendongakkan kepalaku tepat kearah langit yang waktu itu sedang cerah-cerahnya dan berwarna biru dengan aksen gumpalan awan putih yang menjadi pemanisnya sambil merenung dan berpikir. "Kapan ya aku bisa menggapai langit di sana? Aku ingin sekali menggapai langit itu. Langit yang tepat berada di atas kepalaku yang sangat tinggi ini". Lalu kutolehkan kepalaku lurus kedepan dengan pandangan tetap mengarah kelangit. "Loh? Langit diujung sana kelihatan pendek sekali. Mungkin jika aku berlari kesana aku dapat menggapai langitnya". Pikirku semasa kecil.
Alhasil bermodalkan kepo dan tekat. Aku pun berlari lari kedepan dengan secepat yang aku bisa dengan maksut agar bisa menggapai langit itu. Tetapi ternyata sejauh apa aku berlari. Langit itu tetap tidak akan bisa aku gapai. Ia seolah-olah berlari menjauh dariku ketika aku berusaha menggapainya. Aaakhh sebenarnya sebesar apa sih dunia ini?
Aku kecil terus saja bertanya tanya akan misteri dunia. Dan berkeinginan supaya bisa memecahkannya secepat mungkin. Padahal di dalam buku sudah dijelaskan bahwa bumi itu luas dan berbentuk bulat. Jadi langit yang terlihat pendek diujung itu ya karena bentuk bumi itu sendiri. Yang sebenarnya itu tinggi tetapi karena ilusi optik dan bentuk bumi. Jadi kelihatan pendek diujung. Tetapi karena umurku dulu masih 3,5 tahunan dan masih duduk dibangku TK dengan materi mewarnai, menggambar, bernyanyi dan menulis ala kadarnya. Aku pun tidak mengetahui akan hal tersebut.
Walaupun begitu. Aku kecil tetap saja pantang menyerah dan kekeuh ingin mendapatkan jawaban dari segala pertanyaan yang berkelebat di pikirannya. Akhirnya karena tingkat kekepoan yang sudah diambang batas. Aku kecil pun memutuskan bertanya kepada ibunya yang waktu itu sudah berada di rumah.
"Mak'e. Mak'e. Sawangen langit sing puojok kae. Kw kok ketok endek to, mak'e. Tapi pas tak uber kok gak kenek ya mak. Kw nyangopo to mak?!". Tanyaku dengan aksen jawa yang medok.
Ibuku pun lantas tertawa kecil. Beliau pun menjawab. "Iya jelas gak bisa to, La. Itu sebenere langite duwur. Lek sampean uber ya gak bakal kenek. Soale panggone kuwi uadoh"
Aku kecil lantas berusaha memahami kata-kata itu, dan karena masih belum mengerti akan suatu hal. Aku kecil pun kembali bertanya. "Adoh e sepiro mak? "
"Ya uadoh pokok e. Gaiso digapai"
Walaupun masih bertanya-tanya. Aku kecil pun hanya manggut-manggut saja. Dan memilih untuk kembali bermain di belakang rumah.
Ketika bermain. Aku kembali mendongakan kepalaku menatap langit sambil mengukur ketinggiannya dengan pandangan kedua mata. Lalu helaan nafas tanda kecewa pun mengudara ketika menyadari bahwa aku tidak akan bisa menggapai langit itu.
Setelah menghela. Tiba-tiba saja sebuah burung kecil melintas di atas sana. Aku kecil yang melihat pun lantas menatapnya penuh binar. "Waah keren burung itu bisa terbang sendiri. Bisa menggapai langit". Sahutku setelahnya lalu kembali cemberut ketika menyadari bahwa aku selamanya tidak akan bisa menjadi burung itu. Karena aku tidak mempunyai sayap. Aku hanyalah manusia biasa.
Andai aku bisa menjadi seperti burung. Mungkin aku akan senang karena bisa menggapai langit yang begitu tingginya itu. Pemikiranku dulu sewaktu kecil.
Tidak hanya itu. Dulu aku sewaktu kecil juga kepo sekali dengan satu hal. Satu misteri yang nyata adanya. Tapi tidak akan aku ceritakan disini. Melainkan di lembaran selanjutnya yaitu di lembar 09.00, oke?!
Jadi tunggu saja ya....
Terimakasih

KAMU SEDANG MEMBACA
SUara
Cerita PendekSuara. Buku ini mengandung hal hal yang tak bisa aku ungkapan di kehidupan nyata. Namun dapat aku wujudkan di duniaku sendiri. Jangan kaget ketika membaca buku ini. Karena sebagian besar buku ini berisi keluh kesahku mengenai dunia. Mengenai diriku...