14. Angin Surakarta

50 4 1
                                        

Hasa pov

"Lo yakin rumahnya yang ini? Ini kita nggak nyasar ke rumah orang lain, kan?"

Aku mengangguk. Mereka tidak percaya.

"Gila." Gavin menutup pintu mobil dengan pandangan mengamati sekitar, dia secara terang-terangan menunjukan kekagumannya. "Benar-benar gila. Kenapa lo baru ajak kita ke sini?"

Kupikir hanya dia seorang, dua cecunguk yang lain juga sama bodohnya dengan Gavin, aku berdecak malas menanggapi ocehan mereka. Tubuhku sudah pegal dan lengket karena keringat. Aku hanya ingin segera mandi.

Sementara Tristan sibuk mengambil foto dengan kamera mahalnya, Rio dan Gavin semakin mendekat untuk mengelus badan patung di depan mereka secara berlebihan, melihat-lihat detail sebuah karya yang jarang ditemui. Mereka juga berdebat mengenai berapa lama umur patung itu dibuat.

"Udah lihat-lihatnya? Katrok lo pada."

"Bangk*, lo harus tahu jiwa-jiwa seniman gue muncul tiba-tiba lihat patung-patung jaman dulu berjejer keren kayak gini." Rio melirik sinis padaku, aku hanya memutar bola mata melihatnya. "Ini bisa dijadikan contoh ujian nanti."

Terserah.

Aku menghela napas panjang, memilih bersandar pada kab mobil menunggu mereka selesai dengan penelitiannya tentang patung-patung itu.

Beralih pandanganku pada sekitar, kuperhatikan bangunan-bangunan yang tidak berubah sama sekali dalam ingatanku. Sudah berapa tahun lamanya tempat ini tidak kudatangi, meski mengalami banyak pemugaran suasananya masih sama seperti dulu...

..aneh.

Aku tidak pernah bisa menguraikannya secara benar, seperti apa perasaan yang aku rasakan setiap kali datang kemari. Rumah ini dan segala yang ada di sekitarnya entah bagaimana selalu membuatku merasa tidak nyaman.

Memandang lebih lama setiap sudut bangunan, tiba-tiba rasa panas menjalar dipungguku setelah sekian tahun lamanya hampir tidak pernah kurasakan lagi kini datang kembali.

Argh. Fu*k!

Luka bakar ini tahu dari mana dia berasal.

"Jam setangah delapan, malam juga kita sampai. Ayo kita masuk gue udah capek mau istirahat." Tristan menepuk pundakku ringan. "Jadi ini rumah keluarga bokap lo?"

Aku sedikit meringis menahan rasa sakit. Hanya sebentar sebelum kembali tenang. Menoleh padanya lalu rumah di depan kami bergantian. "Yeah, seperti yang lo lihat."

Tristan diam, terlihat berpikir.

"Gue merasa agak seram." ucapnya lagi.

Aku tersenyum miring, nyaris mengumpat. Ternyata bukan pandanganku saja yang salah. Rumah ini memang aneh. Selain bangunannya yang telah berdiri lama dari zaman penjajahan, ada hal lain yang aku rasakan tidak benar.

Angin berhembus ringan, seolah menyambut kedatangan kami. Aku melirik ke arah teman-temanku. "Kita disambut."

Dari kejauhan seorang pengabdi setia rumah ini datang menghampiri. Seorang laki-laki paruh bayah yang mengenakan blankon lengkap dengan baju tugas adat Jawanya. Rio berdeham menarik Gavin lebih dekat untuk berdiri di belakangku.

"Mas Hasa, yah? Saya Sardi, salah satu abdi dalemnya Eyang putri."

Aku mengangguk, ketiga temanku yang lain menyapa balik sapaan itu dengan sopan.

"Sudah ditunggu kedatangannya dari kemarin sama Eyang putri. Beliau ingin segera bertemu Mas Hasa. Semuanya benar-benar menunggu, terutama... si Mbah." dia beralih menatap ketiga temanku, keramah tamahannya sulit kuartikan. "Apa ini teman-teman Mas Hasa yang mau menginap juga?"

SECRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang