2. Pengelihatan Jena

354 57 51
                                        


Jena pov

Setiap kali terbangun dengan pengelihatan yang sama adalah hal yang akhir-akhir ini aku rasakan. Bayangan seorang laki-laki berwajah pucat dengan mata berwarna hitam penuh, seperti tanpa bola mata terus-menerus menghantuiku. Entah apa yang ingin disampaikan oleh hantu itu padaku, setelah dua hari mengirimi ingatan tentang kecelakaan yang mengakibatkan dia sampai meninggal. Samar-samar bayangan seorang nenek tua yang berjalan linglung di pinggir jalan juga terlihat. Sedikit paham bahwa dia ingin aku mengatakan sesuatu pada nenek itu tentang cucunya yang telah meninggal.

Oh god! Apa aku harus setega itu memberi tahu beliau bahwa cucunya telah tiada? Bahkan jenazahnya tak dapat dikenali dengan benar sebab sudah membusuk.

"Jena. Udah bangun? Cepat keluar, makanannya udah siap. Lima belas menit lagi aku harus segera berangkat ke luar kota, ada urusan penting." teriak Aneya dari luar kamar. Aneya adalah satu-satunya keluarga yang aku miliki setelah kedua orangtuaku meninggal karena sebuah kecelakaan.

"Iya sebentar."

Aku berjalan membuka pintu menyusul Aneya di meja makan. Hari ini ada kasus yang harus dia menangkan, aku ingat Aneya bercerita padaku bahwa seorang ibu paruh baya yang berselisih paham dengan anaknya. Yah. Seputar kasus seorang anak yang menuntut ibu kandungnya sendiri. Tentang hak waris tanah yang almarhum ayahnya berikan untuk dirinya dan keluarga masih belum dibagi rata. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala mengetahui orang gelap mata karena uang hingga lupa kacang pada kulitnya. Apa uang dibawa mati? Sedang ibu sendiri yang membawa surga diperlakukan sedemikian rupa.

Betapa dangkalnya hati manusia.

"Berapa hari kali ini, kak?" Aku menggeser kursi yang berada di samping Aneya untuk duduk, lalu menuangkan segelas air putih untuknya.

"Satu minggu paling lama, aku harap kasus ini segera selesai. Rasanya aku ingin menonjok wajah anak ibu Tiah yang kurang ajar itu." geram Aneya, dia terbawa emosi. Sama denganku, jika aku juga berada di sana, mungkin akan membuatnya babak belur dengan tiga tonjokan di muka serta tendangan keras di bagian selatannya. Apa aku terdengar sadis? Tentu saja tidak! Malah aku harus menambah satu jambakan maut untuk anak durhaka seperti itu.

"Dengar, kakak minta jangan terlibat masalah lagi dengan hantu-hantu yang kamu lihat. Seriously, jangan buat aku tua sebelum waktunya."

Sudah seperti ini aku harus cepat-cepat mencari penyumbat telinga.

"Jangan coba-coba menutup telingamu! Kakak serius! Jangan ikut campur urusan hantu-hantu itu lagi!" sambungnya.

Oke! Kali ini aku harus mendengarkan ucapan Aneya. Aku tidak ingin merusak moodnya sepagi ini. Dia bisa menjadi menakutkan jika sedang dalam mood tidak baik.

Aku berdecak sekilas, sebelum mengangguki ucapannya dengan nada malas. "Oke."

Setelahnya kami berjalan menuju mobil Aneya, aku berniat mengantarnya sampai depan pintu pagar. Sebelum Aneya menghilang bersama dengan mobilnya dia masih sempat melambai ke arahku secara dramatis. Dasar! padahal kami sudah berpelukan seperti teletabis.

Aku masih berdiri di depan pintu pagar, ketika melihat seorang nenek tua menghampiri lelaki yang selama dua tahun ini menjadi tetangga di depan rumahku. Aku tidak suka padanya, dia memiliki sifat yang jelek. Sejenis makhluk yang suka keluar malam. Bingung sebetulnya bagaimana cara membedakannya. Apa dia kelelawar?

SECRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang