12. Kebenaran

58 7 1
                                    

Hasa pov

Aku masih menyimpan tanya pada diri sendiri, seterikat apa aku dengan Jena sehingga kesusahannya menjadi kesusahanku juga.

Berawal dari dia yang tidak bisa melihat hantu ketika bagian tubuhku bersentuhan dengannya. Lalu hal konyol berikutanya dia tidak bisa membaca pikiranku seperti yang lain. Alih-alih merasa istimewa aku merasa terbebani. Istimewa adalah kata yang menjabarkan banyak hal, salah satu lingkupnya bisa mengundang rasa yang terlarang di antara kami. Mungkin jika aku belum merasakannya, Jena bisa lebih dulu memilikinya.

Aku tidak ingin membawa wanita ini masuk ke dalam hidupku. Dia memiliki kehidupan yang tenang. Jangan sampai dunianya yang damai terancam karena mengenalku.

Sebuah penekan yang selalu harus kuingat. Sekarang atau nanti.

Menghela napas panjang dan dalam, kuletakkan tubuh Jena di atas sofa. Dia pingsan di teras rumah. Aku tidak tahu jika dia menunggu kedatanganku hingga berakhir tak sadarkan diri. Tubuhnya panas. Wajahnya pucat. Aku sudah menduga bahwa dia tidak baik-baik saja tadi sore.

Ini adalah kesusahan lain yang menjadi kesusahanku juga.

Niatku ingin membawa Jena kembali ke rumahnya urung saat kupikirkan lagi bahwa situasi kami tidak menguntungkan. Akan ada salah paham jika seseorang dari kompleks melihatku menggendong seorang wanita ke rumahnya tengah malam. Ini pukul satu pagi, kami bisa di grebek warga satu RT. Rumah Jena juga terlihat sepi, aku yakin bahwa kakaknya belum kembali.

Meletakkan handuk dingin di atas dahinya, aku menyibak rambutnya pelan. Kutekan sedikit keningnya yang berkerut. Entah apa yang sedang dia mimpikan. "Tidur yang tenang. Jangan banyak berpikir."

"Yo, lihat bagaimana si kampret ini mencuri kesempatan setelah kita tinggal membeli obat. Bilang dia bukan tipe lo? Halah, tatapan mata orang jatuh cinta begitu apanya yang bukan tipe lo?"

Aku memutar bola mata, berdiri setelah membungkuk menyamankan bantal untuk Jena. "Udah kalian beli semua?"

"Waduh. Sebuah pengalihan, Vin. Kasihan sekali lo dikacangi." Rio melenggang pergi, kulihat dia membawa tiga bungkus mie ayam beserta bubur instan yang dibelinya di minimarket. Sebelum benar-benar menuju dapur dia menyambung lagi. "Gue makan dulu. Silakan kalian melanjutkan adu mulut atau main cakar-cakaran setelahnya. Terserah, gue udah lapar. Bye."

Aku menghela napas. Beralih menatap gavin yang masih setia bediri, menunggu jawabanku sepertinya penting untuknya.

"Apa dia akan dibawa ke arena balap? Gue harap itu bukan dia."

"Apa gue gila? Kenapa harus bawa Jena ke sana?!"

Benar. Itu tidak mungkin, aku sadar resiko apa yang akan kutanggung jika Jena sampai ikut. Bagaimana gosip memuakkan lainnya juga akan mengikuti, itu menjadi alasan lain yang harus kuhindari.

"Bagus. Setelah dua minggu kenal Jena, gue nggak berharap lo memposisikan dia sebagai objek incaran Davian. Laki-laki itu benar-benar sakit jiwa, dude. Hasa, anggap saja omongan gue di pub malam itu cuma bercanda, oke? Come on seriously, gue nggak benar-benar memberi lo ide gila memacari Jena cuma buat taruhan." Gavin menjeda dengan ekspresi kaget tiba-tiba, apa yang dia pikirkan melihatku dengan tatapan menyelidik begitu? Perasaan sialan ini, aku sama sekali tidak menyukainya. "....atau jangan-jangan benar lagi ucapan gue barusan. Lo udah mulai pakai hati, wah gila."

Brengsek. Aku jadi terdiam. Gavin benar-benar memaksaku untuk segera sadar.

Aku berdecak setelah beberapa saat lamanya menatap Gavin dengan kalimat tertahan. "Omong kosong macam apa itu! Apa gue terlihat tertarik soal hal begituan?!"

SECRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang