15. Banyu Seger

45 4 2
                                        

Hasa pov

Aku tidak bisa tidur dengan benar hingga pagi menjelang, ayam berkokok dan kegiatan di rumah ini kembali dimulai rasa kantuk tidak cukup membuatku benar-benar tertidur. Gavin dan Rio masih saja tidur nyaman di atas kasur. Sementara Tristan sedang pergi ke minimarket sekitar untuk membeli keperluan pribadinya. Dia memang bodoh sampai melupakan celana dalam cadangannya di rumah. Benar-benar cecunguk sinting!

Pukul enam pagi, hujan semalam menyisakan mendung dan udara di sekitar juga terasa dingin. Umpatan keluar begitu saja dari kedua temanku yang tertidur pulas saat pintu serta jendela kamar sengaja kubuka lebar. Aku hanya bisa menggeleng geli menutup kembali pintu itu lantas keluar. Biarkan saja mereka kedinginan dengan jendela terbuka, itu bagus. Keduanya akan segera terbangun jika mereka menginginkan sarapan pagi.

Dapur berada di sisi timur bagian belakang, aku berjalan mengelilingi rumah ini mencari Pak Sardi untuk menanyakan sesuatu. Sikapnya semalam mencurigakan, terutama mengenai sesajen yang diletakkan di depan pintu rumah padi. Aku jadi bertanya-tanya kisah apa saja yang sudah kulewatkan sebelas tahun lalu.

Tidak. Aku hanya ingin tahu bagaimana tempat itu menjadi rumah pengasingan.

Pak Sardi seharusnya bisa mengatakannya jika kami hanya berdua. Selain itu aku ingin tahu alasan kenapa Eyang mengizinkanku untuk tidur di kamar itu alih-alih menyediakan kamar di sisi timur yang masih kosong. Aku tidak berniat membahas cerita lama untuk bernostalgia. Tubuhku tidak pernah melupakan kejadian di masa lalu, meski setelah sekian tahun lamanya aku tidak lagi menampakkan diri di hadapan mereka.

"Selamat pagi, Mas."

Berhenti, aku menoleh ke belakang mendapati seorang gadis berkepang dua menghampiriku sambil tersenyum ramah. Siapa dia?

"Loh, Mas Hasa lupa sama saya?"

Aku mengernyit, mencoba mengingat.

"Sedayu, anaknya Bu Lek Rani yang tinggal sama Eyang dari lahir di rumah ini. Ih, Mas Hasa kok bisa lupa begitu sama saudara sendiri."

Ini sudah sebelas tahun, apa yang bisa kuingat selain kenangan buruknya yang masih melekat.

"Sedayu, bocah ingusan yang manja dan cengeng itu?"

"Ya ampun. Sedayu sudah SMA, bukan anak lima tahun lagi. Janganlah Mas diingatkan sama masa-masa memalukan dulu." kami berjalan beriringan. Di sisi kanan suara sapu lidi berayun secara teratur. Beberapa abdi dalem yang sedang bersih-bersih menghentikan kegiatannya lalu menyapa kami dengan santun. "Mas Hasa mau ke mana? Waktu sarapan di sini masih setengah delapan nanti. Ini hari minggu jadi jam sarapan sedikit terlambat."

"Pak Sardi, apa dia ada di dapur?" dari jarak lima meter setengah perjalanan kami menuju jalan utama, aku melihat pendopo kecil dengan gamelan lengkap bersama alat musik lainnya di tengah halaman. Aku berdecak lirih mengingat suara bising mengganggu semalam berasal dari gamelan itu. "Apa gamelan-gamelan itu biasa dimainkan sampai subuh?"

Sedayu mengikuti arah pandanganku. Dia memberiku wajah bingung. "Hah. Kapan Mas?"

"Tadi malam. Lo nggak denger? Bukannya si Mbah sakit untuk apa mereka melakukan hal berisik kayak begitu di jam tidur."

Gadis di sampingku tertawa, kami berhenti tepat di teras yang sejajar dengan pendopo gamelan. "Mas Hasa jangan bercanda. Gamelan-gamelan itu udah lama nggak dipakai semenjak Mbah sakit. Mungkin sekitar satu tahun lalu, Pak Sardi sama abdi dalem yang lain hanya datang untuk bersih-bersih." dia melanjutkan jalannya sementara diriku masih berdiri di tempat yang sama memandang gamelan-gamelan itu dengan umpatan tertahan. Oh, shit! Ini benar-benar gila. Jangan-jangan yang lain semalam tidak benar-benar mendengar suara gamelan itu. Fu*king stupid. Aku sekarang merasa dibodohi oleh mereka.

SECRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang