Jena pov
Ada perasaan sendu saat aku memasuki rumah Hasa. Rumahnya sederhana dan terkesan membawa kita kembali mengenang masa lalu. Lukisan-lukisan berjejer rapi pada setiap dinding. Perabotan yang muncul tahun 2000an mendominasi setiap sudut. Entah itu vas atau tv jadul yang bertengger di atas nakas. Kaset pita juga pensil kayu dengan penghapus merah tergeletak begitu saja di sofa. Dia sangat klise ternyata, berbanding terbalik dengan sifatnya yang kurang ajar dan sok keren. Mengingat setiap ucapannya tadi aku masih tidak percaya jika ini rumah si kurang ajar itu. Seperti kata kiasan, jangan melihat sesuatu dari sampulnya. Hasa tidak seburuk dugaanku.
Benar. Sekarang aku sudah mulai tidak waras!
Menggeleng kecil di belakang Hasa, aku segera menyingkirkan pikiranku tentang kekagumanku pada seleranya yang lumayan. Beralih mengedarkan pandanganku lagi ke tempat lain, aku yang ingin sekali merutuki pikiranku ini. Di sana. Di dinding itu. Aku menemukan lukisan yang sangat menarik. Tidak. Sebetulnya semua lukisan yang terpajang di dinding rumah Hasa memang menarik dan aku tidak bisa berhenti berbohong jika lelaki itu memiliki selera yang luar bisa tentang seni. Siapa saja bisa mengira jika ini adalah sebuah pameran lukis dengan kedok rumah.
Melangkah semakin dekat pada dinding, aku mecium aroma cat minyak yang sama dengan bau tubuh Hasa. Sementara aku membiarkannya berbicara sendiri tentang perjanjian yang dia sepakati sepihak, tanganku menyentuh satu lukisan sebuah pedesaan yang berdampingan dengan lukisan Kakak-Adik. Keduanya memiliki makna yang berbeda dengan nilai kesenduan dan romantisisme yang tinggi. Aku adalah orang awam dengan tingkat pengetahuan hampir nol persen. Menilai sebuah lukisan seperti ini bukan keahlianku. Tentu saja. Namun sang perasa bukan terlahir dari dia yang bertalenta saja, bukan?
Aku tahu dia seorang pelukis. Kadang-kadang pagi atau sore hari aku melihatnya melukis di teras rumah, tepat di depan jendela sana. Aku tidak menyangka jika lukisannya bisa sebagus ini. Yah, setidaknya ada hal positif yang dimilikinya selain berkeliaran di tengah malam dan mabuk tidak jelas.
"Lihat apa lo? Itu bukan lukisan gue."
Aku mengerjab. Lalu berdeham kedapatan mengaggumi lukisan miliknya. Aku menoleh bingung tidak melihat Hasa membawa kotak tadi. Di mana dia menaruhnya?
"Mana kotak tadi?"
Dia menghendikan bahu dengan santainya, berdiri di sampingku mengamati dua lukisan di hadapan kami. "Gue taruh dapur."
"Oh why? Kita sepakat untuk membukanya bersama." Aku berdecak, beruntung sekali hantu Pak Tua itu tidak ada.
"Gue nggak mau mengambil resiko kalau tiba-tiba ada cecunguk-cecunguk sinting yang mengganggu."
Ce-cunguk?
Wah. Mulutnya memang tidak setia kawan. Mengumpati temannya sendiri.
"Alasan."
Hasa mendengus, menatap lurus lukisan itu. Aku mengernyit, tatapan matanya tiba-tiba berbeda. Dalam situasi ini aku ingin sekali membaca pikirannya. Dia terlihat mengagumi lukisan-lukisan itu dengan sangat.
"Lukisan ini namanya Kakak-Adik. Karya Basuki Abdullah tahun 1971."
Aku mengangguk. Tentu saja tidak mengerti.
"Ini bukan yang asli jangan salah paham. Yang asli disimpan di Galeri Nasional." Hasa tersenyum kecil. Senyumannya mengandung banyak arti saat menatap lukisan itu. Aku semakin tidak mengerti kenapa laki-laki ini bisa begini waras tiba-tiba.
"Jadi ini lukisan kamu?" tanyaku. Bodohnya aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.
Dia menggeleng, kemudian berjalan mundur satu langkah. "Bukan. Milik kakak perempuan gue."

KAMU SEDANG MEMBACA
SECRET
Misterio / SuspensoWarning language! 18+ Bertemu dengan gadis berkemampuan khusus semacam sixth sense. Menurutmu apa aku harus senang atau tidak bertemu dengannya? Hasa Mandala_ Mahasiswa jurusan seni rupa dan desain, sifatnya tidak suka dikekang, kebebasan adalah mo...