9. Jarak Kelam

66 8 0
                                        

Pada diriku yang membisu, ada ramai yang kian menggebu. Ego sedang bertengkar hebat dalam pikir, sibuk menyangkal, sibuk berteriak

Hasa pov


"Hallo, do you love me? Oke. Real or not real?"

"Kenapa lo? Sakit jiwa?"

Gavin, dia tersenyum tidak jelas sejak setangah jam lalu. Aku rasa kepalanya mengalami konslet tiba-tiba. Kabel-kabel dalam kepalanya mungkin terputus saat di studio patung tadi.

"Nggak. Seharusnya Jena mengatakan itu sama lo, bukannya pergi begitu saja tadi. Sayang sekali si Tristan jadi kompornya setengah-setangah. Drama yang diciptakan jadi kurang seru."

Aku berdecak.

Seru, your ass!

"Brisik."

Dia kemudian menutup pintu mobil sambil terus berbicara. Tangannya sibuk meletakkan tasnya di kursi belakang. "Oke. Mari ke kafe gue. Nggak usah nyureng-nyureng banget itu muka. Gue kasih lima shot exspresso gratis biar seger."

Right. Teman sinting. Dia berniat membunuhku.

"Wtf. Yang ada Hasa bisa bikin repot. Tiba-tiba pusing, tiba-tiba asam lambung naik. Bukannya seger, dia malah say hai sama rumah sakit untuk tinggal beberapa hari. Lo tahu toleransi Alkoholnya lebih besar ketimbang minum kopi. Haah... dude, mending lo kasih dia wine yang harganya sepuluh juta itu. Maybe, I can try the taste later. Sumpah, cuma sedikit."

Si Rio tidak membantu sedikit pun, aku hanya mendengus lirih melihat ekspresi Gavin berganti menekuk wajahnya menunjukan rasa protes yang kentara. Rio tidak terusik sama sekali saat kepalanya dipukul dengan botol mineral yang sudah kosong, meski bunyinya cukup nyaring tawanya tidak berkurang.

"Nggak, nggak ada. Itu titipan bokap gue. Lo kalau haus, biar gue kasih teh manis harga tiga ribu pinggir jalan. Nggak usah sok-sokan minum wine siang hari begini. Ta*klah."

"Payah, walau cuma seteguk? Lo benar-benar nggak kasih? But, what if Fanya finds out you, tahu lo beli wine harga tiga ratus ribu untuk dia sementara yang harganya sepuluh juta lo minum sendiri. Wooww .... Amazing-oh shit!"

"Fu*k off." lalu tangan Gavin meraih leher Rio, menjadi sasaran empuk untuk dia piting. "Lo memang kurang ajar ya, Yo. Cium nih bau wine dari tubuh gue, the smell of ass sweat."

"Oh. Shit! I'm kidding! Gavin brengsek. I'm kidding! Kepala gue mau copot."

"Minggir lo."

Disusul tawa Rio yang semakin menjadi, Gavin akhirnya terpaksa melepaskan pitingannya, dia lantas melajukan mobilnya menuju kafe sambil mengumpat kesal. Aku menggeleng kecil, lebih memilih memutar radio dengan lagu-lagu acak. Mengabaikan bising kendaraan dan pertengkaran dua cecunguk sinting yang terus berlanjut. Aku menghela napas memejamkan mata, sedikit banyak pikiranku mengarah pada Jena.

Apa yang sedang dia lakukan di fakultas seni tadi?

Mencariku? Mungkin saja, sayang sekali aku tidak sempat bertanya. Semua itu karena Tristan terus-menerus berbicara yang tidak-tidak. Membahas hal yang tidak penting sampai wajah Jena terlihat canggung. Beruntung Radika menyeretnya untuk segera pergi ke kelas selanjutnya. Jika tidak entah sampai kapan aku harus menahan kesabaran pada setiap tindakannya yang memancing amarahku. Sudah aku bilang padanya untuk menjauhi Jena, dia belum tahu saja wanita itu bisa membuat hidup seseorang berantakan. Mengacak-acak isi pikirannya. Mengajaknya untuk mengetahui urusan dunia orang yang sudah mati. Hell. Bagi orang seperti Tristan yang mengutamakan logika di atas segalanya, come on! Dia tidak akan percaya tentang kemampuan Jena. Alih-alih percaya dia mungkin akan membuat Jena melakukan hal gila untuk kesenangannya. Membawanya ke mana saja untuk membaca pikiran orang lain. Right. Jangan lupakan sepupunya -Aletha, yang memiliki banyak rahasia. Salah satu kegilaan yang bisa dilakukannya, meminta Jena mengorek informasi apa saja yang bisa dia dapat saat membaca pikiran Aletha.

SECRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang