Gempa menghitung tumpukan kartu ucapan yang dibelinya dua minggu lalu atas saran dari Taufan. Berkurang satu lembar. Apa Taufan mengambilnya?
Gempa menarik selembar kartu dan mengambil pulpen di meja. Ia termenung, memikirkan kata-kata yang bagus untuk ditulis.
Selama ini Ia hanya mengikuti saran dari Taufan dan menuliskan puisi-puisi noraknya. Namun jika Gempa ingin memberikannya pada orang yang spesial, bukankah seharusnya ia menulis dari hatinya sendiri?
Gempa melirik kotak musik dan kotak kado dengan bungkus dan pita yang baru dibelinya. Menurut internet, perempuan juga menyukai suara dari kotak musik. Gempa merasa gadis itu akan cenderung bosan jika dijejali bunga setiap hari. Bagaimana kira-kira reaksinya jika Gempa memberikan sesuatu yang berbeda?
"Tulis apa, ya?" gumam Gempa.
Gempa menopang dagunya di meja dan mengetuk-ngetuk pulpen sambil berusaha mencari ide. Wajah Ying terbayang di benaknya.
Apa yang dilakukan gadis itu sekarang? Tadi Gempa tidak melihatnya di kampus. Tidak biasanya Ying membolos. Apa terjadi sesuatu?
Pintu kamarnya terbuka. Gempa menoleh dan buru-buru menyembunyikan tumpukan kartu yang sayangnya justru jatuh berceceran.
"Kau sudah pulang?"
Halilintar mengangguk, melangkah masuk. Ia melirik kotak musik dan Gempa yang memunguti kartu ucapannya.
"Dasar." Halilintar mendesah. "Apa enaknya memberi hadiah tanpa mencantumkan nama?"
"Yah, yang misterius lebih menarik, 'kan?" Gempa tersenyum, merapikan kembali tumpukan kartunya.
"Hati-hati, kau bisa disangka penguntit."
"Penguntit?" Gempa mengernyit. "Itu tidak mungkin. Aku tidak mengirimkan barang berbahaya."
"Kudengar dari Sai, mulai hari ini apartemen Shielda sudah tak akan menerima paket lagi," kata Halilintar.
Gempa mengerjap. "Lalu apa hubungannya denganku?"
Halilintar mendengkus. "Aku hanya memberitahu. Mungkin kau berniat mengirim barang ke sana."
"Aku tidak bilang akan mengirim barang ke sana."
"Yah," Halilintar mengangkat bahu. "Saranku, sebaiknya kau utarakan saja langsung. Mungkin dia akan menerimamu."
"Aku tidak mengerti maksudmu," Gempa memalingkan wajahnya.
"Yah, terserah saja kalau kau mau terus mengulur waktu." Halilintar berbalik pergi. Ia berhenti ketika hendak mencapai pintu dan menatap lurus pada Gempa. "Aku tidak akan memberimu kesempatan dua kali. Kalau kau tidak segera mengutarakannya, aku yang akan maju duluan."
Pintu kemudian dibanting menutup, meninggalkan Gempa tertegun. Kartu di tangannya teremas tanpa sadar. Apa Halilintar baru saja menantangnya?
Gempa tahu Ying menyukai Halilintar sejak lama. Tatapannya pada Halilintar selalu membuat Gempa iri dan merana. Selama ini Gempa tidak tahu perasaan kembarannya itu pada Ying. Dia pikir Halilintar hanya menganggap Ying seperti kebanyakan perempuan di sekitarnya. Karena itulah Gempa mencoba untuk maju perlahan dan bermaksud merebut hati dan perhatian gadis itu.
Namun sekarang ... kegelisahannya selama ini terbukti. Halilintar juga memiliki perasaan yang sama dengan Ying. Lalu apa yang harus dilakukan Gempa setelah ini?
Gempa melirik kotak musik di atas meja serta kartu ucapan di tangannya yang telah kusut.
Tidak. Tidak. Ia tidak boleh menyerah. Gempa harus mencobanya. Mungkin memang sudah saatnya ... ia harus lebih sering menunjukkan perhatian pada Ying. Bukan sebagai pengirim bunga misterius, tapi menghadapinya secara langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Angles
Fanfiction[TAMAT] Cinta segitiga? Cinta segiempat? Dilihat dari manapun, cinta itu rumit dengan banyak sudut yang sulit dijangkau. Jika hati sudah memilih, enggankah takdir membuka jalan? AU/college!AU