"Lho, Ying mana?" Shielda mengernyit saat menghampiri meja makan dan hanya melihat Yaya duduk seorang diri.
"Dia tidak mau keluar dari kamarnya sejak semalam," Yaya menghela napas berat. "Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi sepertinya dia menangis semalaman."
"Oh, yang menangis tadi malam itu Ying?" Shielda menarik kursi dan duduk. "Kupikir suara penunggu apartemen."
"Kau ini," Yaya berdecak. Ia mengulurkan piring pada Shielda dan juga teko kopi. "Memangnya kau mau di apartemen ini ada penunggunya?"
"Tentu saja tidak. Tapi ... Memang apa yang terjadi? Apa ini tentang Halilintar lagi?" tanya Shielda.
"Entahlah," Yaya menggeleng. Ia menyendok nasi goreng ke piringnya dan Shielda. "Semalam dia keluar untuk ke minimarket, lalu kembali sambil menangis."
"Apa dia diganggu oleh preman di sana?" tanya Shielda cemas. "Kudengar mereka memang suka menggoda perempuan yang mampir ke minimarket malam-malam."
"Aku juga kurang tahu, tapi ... Itu sangat keterlaluan jika terjadi."
"Ying tidak mengatakan apapun?"
Yaya menggeleng. "Tidak. Dia hanya melengos masuk ke dalam kamarnya lalu menangis."
Nasi goreng disuap ke dalam mulut, dan Shielda menuang kopi ke cangkirnya. "Berarti dia tidak kuliah hari ini?"
"Sepertinya tidak. Aku akan membuatkannya surat izin nanti."
Shielda mengangguk. Ia mengunyah nasi gorengnya dan melirik ke atas tangga sebelum meletakkan sendok dan beranjak.
"Aku akan mengeceknya sebentar."
"Cobalah bujuk dia untuk sarapan," pinta Yaya. "Setidaknya dia harus makan supaya tidak jatuh sakit."
"Iya."
Yaya menyuap nasi gorengnya, mengawasi Shielda yang berlalu ke kamar Ying.
"Ying?" Shielda mengetuk pintu dan melongok ke dalam. Udara dingin yang berhembus langsung membuatnya merinding. "Astaga. Kamarmu terasa seperti kutub Utara," Shielda memeluk dirinya. "Kenapa suhu AC-nya harus sekecil ini, sih?"
Ying tampak bergelung di balik selimut dan dikelilingi tumpukan bonekanya.
"Ying." Shielda duduk di sisi ranjang Ying dan mengguncang tubuhnya. "Ayo, bangun. Sarapan dulu."
Ying tidak bergerak. Shielda menghela napas, menyibak selimut Ying. Ia menyentuh lengan Ying dan terkejut mendapati suhu tubuh yang naik.
"Kau demam!" seru Shielda cemas. Ia menempelkan tangan di kening Ying untuk memastikan. "Biar kupanggilkan dokter."
Ying menahan tangan Shielda yang hendak beranjak. "Tidak mau dokter," gumamnya serak.
"Tapi kau demam." Shielda mendesah.
"Jangan," Ying menggeleng. "Nanti juga sembuh. Sudah, aku tidak apa-apa."
"Kalau begitu kau harus makan," kata Shielda. "Yaya sudah membuatkan nasi goreng. Kau mau, 'kan? Setelahnya kau bisa minum obat."
Ying mengangguk. Shielda mengusap rambutnya yang terbalut peluh. Ia meraih remot AC, menaikkan suhunya agar kamar Ying tidak terlalu dingin, lalu melangkah keluar kamar.
"Bagaimana?" tanya Yaya saat Shielda kembali ke dapur. "Apa Ying mau bangun?"
"Dia demam," kata Shielda. "Aku mengajaknya ke dokter, tapi dia bilang tidak usah "

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Angles
Fanfic[TAMAT] Cinta segitiga? Cinta segiempat? Dilihat dari manapun, cinta itu rumit dengan banyak sudut yang sulit dijangkau. Jika hati sudah memilih, enggankah takdir membuka jalan? AU/college!AU