Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta. Tidak ada keuntungan material apapun yang diambil dari fanfiksi ini.
.
.
.
"Sudah kubilang cukup latihannya!"
Sai menarik bangkit Halilintar yang mengerang kesakitan. Ia sudah khawatir saat pemuda itu meneleponnya untuk menjemputnya di stadion lewat tengah malam. Ternyata ia lari tanpa henti dan terpaksa jatuh karena kakinya tiba-tiba memberontak.
"Kurasa kakimu patah," Sai berdecak, membantu Halilintar meluruskan kakinya. "Ayo, sebaiknya kita ke rumah sakit," ia menukas. "Lagipula apa yang membuatmu lari seperti orang kerasukan begini?"
Halilintar memekik kesakitan saat Sai mencoba membantunya berdiri.
"Aku akan panggil bantuan," kata Sai. "Kau tunggu di sini."
Halilintar didudukkan kembali di aspal berwarna oranye. Sai memesan taksi dan bermaksud menghubungi keluarganya, tapi Haliintar langsung mencegah.
"Jangan beritahu mereka," kata Halilintar. "Jangan beritahu siapapun."
Sai berdecak. "Kau bertengkar lagi dengan saudaramu?"
Halilintar tidak menyahut. Ia memegangi lututnya dan memejamkan mata menahan sakit.
Sai menyimpan ponselnya kembali saat taksi mereka tiba. Sai terpaksa meminta bantuan sang sopir untuk membopong Halilintar masuk ke dalam.
Halilintar menahan diri untuk tak mengerang kesakitan. Ia menggertakkan gigi kuat-kuat, menyandarkan kepala di jendela taksi selagi mereka meluncur pergi.
"Kau yakin tidak ingin menghubungi saudaramu?" tanya Sai.
"Tidak." Halilintar memejamkan mata dan bersandar di jok mobil. "Jangan hubungi siapa-siapa."
"Lalu bagaimana dengan keperluanmu?"
"Aku sudah membawa semuanya. Ada di ranselku," tukas Halilintar. "Jadi ... jangan buka suara soal aku."
Sai mengambil tas Halilintar dan memeriksa isinya. Beberapa potong pakaian, selimut, juga dompet dan ponsel.
"Lalu siapa yang akan mengurus administrasinya di rumah sakit nanti?" tanya Sai.
"Aku bisa mengurusnya sendiri," kata Halilintar. Pandangannya memburam.
"Memangnya kau—"
"Semuanya ada di kartu kreditku," kata Halilintar. "Atau aku pinjam uangmu dulu ..."
Sai menghela napas. "Ya, ya, baiklah," tukasnya. "Kau ini lebih merepotkan dari Shielda."
Halilintar kembali memejamkan mata. Rasa sakit di kakinya menumpulkan segala hal lain. Seperti ini lebih baik. Ia tidak perlu memikirkan hal lain, hanya dirinya seorang. Lagipula, siapa juga yang akan peduli padanya?
.
.
.
"Mukamu kenapa?"
Ying menyambut Taufan yang bertamu pagi-pagi ke apartemennya. Namun ekspresi gadis itu langsun gmengernyit begitu melihat wajahnya. Ying memegangi pipi Taufan yang lebam, membuatnya meringis.
"Bukan apa-apa. Aku jatuh dari tangga semalam," kata Taufan.
"Tapi kenapa lukanya di wajah?" tanya Ying heran.
"Wajahnya mendarat di lantai lebih dulu. Sakit sekali...." Taufan meringis.
"Aw, kasihan sekali." Ying mengusap pipinya, membuat Taufan mengaduh. "Maaf, maaf. Apa kau sudah mengobatinya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Angles
Fanfiction[TAMAT] Cinta segitiga? Cinta segiempat? Dilihat dari manapun, cinta itu rumit dengan banyak sudut yang sulit dijangkau. Jika hati sudah memilih, enggankah takdir membuka jalan? AU/college!AU