Surprise

10 2 0
                                    

"Kalau suatu hari gue pergi, kamu jangan menyerah untuk menjalani hidup, ya. Karena berusaha menjadi lebih baik dan diakui itu sangat sulit di dapatkan."

****

"Jangan lemah atau kamu kehilangan segalanya."

Suara bass itu terdengar nyaring, seorang pria berdiri tidak jauh dari posisi Tomi dan Kaara.

"Ayah."

"Bagus. Gadis penurut." Pria itu menghampiri Kaara setelah Tomi melepas cengkeramannya dan menjauh.

Bagi Tomi bukan urusannya lagi, dia lebih memilih menghindar daripada tetap berada di tempat itu. Tomi takut jantungnya berdetak untuk kedua kalinya.

Pria itu pun sedikit membungkuk, membisikkan sesuatu tanpa bisa di dengar oleh Tomi, "Pilihlah salah satu nyawamu atau Tomi?"

Kaara mengepalkan kedua tangannya, gadis itu tidak habis pikir dengan pria di depannya yan hanya berani mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Pria itu kemudian menghampiri Tomi, menepuk pundaknya dan tersenyum bangga atas kerja kerasnya. Hardian, pria yang disebut ayah oleh Tomi.

"Tomi ada yang perlu kamu sampaikan ke gadis di depanmu?" tanya Hardian pada putra angkatnya yang sedari tadi diam.

Tomi masih terdiam melihat interaksi ayahnya dengan gadis di depannya. Terlihat dekat hanya saja sorot mata gadis itu masih tenang seperti saat datang tadi. Sebelum Tomi berbicara, Kaara lebih dulu menimpali, "Bisakah aku bicara dengan Bang Tomi?"

"Oh ... iya, aku sampai lupa untuk tanya kabar sama Om. Apa kabar, Om, lama tak jumpa? Om ke mana saja, harusnya waktu itu Om yang ambil bayi itu agar tidak salah." Perkataan Kaara mampu membuat semua orang tercengang.

Apa hubungan Kaara dengan Hardian, sampai gadis itu terlihat tenang tanpa rasa takut. Tomi pun masih sanggup melihat bahwa ayahnya menyimpan senjata di balik bajunya. Bagaimana kalau ayahnya nanti akan melakukan hal yang lebih?

"Sayangnya, Om pergi lebih dulu tanpa mau mendengarkan penjelasan Ayah. Hanya dengan perkataan Ayah seperti itu, Om tersinggung dan dendam, Om juga yang melakukan percobaan penculikan pada bayi yang baru lahir. Sayangnya orang suruhan Om salah ambil bayi, harusnya bayi perempuan bukan bayi laki-laki," ucap Kaara lagi, gadis itu membongkar semuanya.

Hardian tidak terima dengan ucapan Kaara, sekalipun dia adalah keponakannya. Pria itu pun langsung mengeluarkan pisau, mengarahkan langsung ke arah Kaara. Tomi yang mengetahui bimbang antara ingin menolong dan diakui.

"Om, yakin akan melakukan ini, memangnya Om akan mendapatkan semuanya? Sepertinya tidak. Atau kita buat penawaran, kembalikan Bang Tomi kembali ke orang tuanya dan aku akan pergi dengan Om, agar semua kembali ke kehidupan semula." Kaara pun maju selangkah, dan berusaha membujuk pria yang terkesan garang.

Tomi kembali di buat bingung, apa yang terjadi selama ini. Awalnya dia acuh dengan sikap ayahnya yang keras, tetapi setelah mendengar ucapan Kaara, pemuda itu akhirnya mengerti.

Hardian terdiam, memikirkan penawaran yang diberikan oleh keponakannya--Kaara. Selama ini dia menghilang bersama istrinya, dan menjadi preman yang di takuti. Kaara sanggup melihat bagaimana pria itu masih terdiam, gadis itu mengambil kesempatan untuk menyerahkan amplop berlogo rumah sakit ke Tomi.

"Buka, Bang. Abang harus tahu sebenarnya."

Tanpa menunggu lagi, Tomi membaca isi surat yang diberikan Kaara. Isi surat itu menerangkan bahwa Tomi Erlangga adalah anak kedua dari pasangan Surya dan Clarissa. Perasaan Tomi bercampur aduk menjadi satu antara kecewa dan senang.

"Anak kedua? Surya dan Clarissa?"
Tomi masih belum percaya apa yang dia baca barusan.

Berbeda dengan Hardian, pria itu telah melakukan kesalahan-kesalahan besar. Tanpa di sadari, dia mendapatkan pelukan hangat dari keponakannya.

"Om pulang sama aku, ya. Ajak Tante juga, Ayah kangen Om. Aku yakin ayah akan memaafkan semua kesalahan om selama ini," ajak Kaara membuat Hardian melepaskan pisaunya.

"Maafin, Om."

Kaara menepuk pelan punggung pria itu, menenangkan seperti saat ayahnya menceritakan bagaimana adik kesayangannya pergi meninggalkan rumah. Kedua pria itu sama-sama terpuruk, dengan masalah yang sama. Jauh dari tempat Kaara, seseorang tersenyum senang--rencananya telah berhasil.

"Gak rugi gue jadi kaki tangannya Kaara, setidaknya tidak ada pertumpahan darah," ucap seseorang bernapas lega, dan pergi meninggalkan gedung itu.

****

Setelah kepergiannya berganti dengan kedatangan beberapa orang, tanpa sirine mobil polisi. Dua pria paruh baya lengkap dengan jas yang masih bertengger di badan mereka. Kedua pria itu masuk dan mendapat suasana haru di dalamnya, bahkan seulas senyum muncul di sudut bibir keduanya.

Bintoro mendaha untuk tidak menangis, bibirnya terasa kelu melihat pemandangan yang menampakkan seorang yang dirindukan dan sang putri.

Pria itu pun berjalan mendekat dan memanggil adiknya, "Hardian, Adikku."

Pria paruh baya itu pun berlari menghampiri adiknya dan sang putri. Memeluknya erat, dan menangis, delapan belas tahun mereka berpisah. Berbeda dengan Tomi, pemuda itu hanya diam tanpa mengucapkan apapun.

"Kenapa lo ngasih tahu gue tentang kenyataan ini, Ra?"

"Karena lo berhak tahu."

"Kalau ortu gue Surya dan Clarissa, dan anak kedua, berarti gue punya kakak. Lo tahu siapa kakak gue?"

Kaara terdiam sejenak, saat gadis itu hendak menghubungi seseorang. Dari arah berlawanan seorang pria mendekat, menghampiri di mana Kaara berdiri tidak jauh dari tempat Tomi.

"Om, kenalin ini Tomi. Bayi laki-laki yang hilang delapan belas tahun yang lalu," jelas Kaara membuat pria yang dipanggil Surya langsung menghambur memeluk Tomi.

"Putraku."

"A-Ayah."

Tomi membalas pelukan ayah kandungnya. Suasana haru bercampur bahagia itu pun telah kembali seperti semula. Tidak ada korban jiwa, dalam sehari dua kebahagiaan terbentuk.

****

Sesuai dengan izin seseorang, empat sekawan plus satu orang lagi telah keluar dari sekolah. Gadis yang diculik tadi, sudah kembali ke sekolah dan menceritakan semuanya.

"Pak, tolong Kaara, di sana dia sendirian dan di kepung banyak orang."

"Kamu tenang, ya. Bapak sudah lapor polisi untuk menangkap para penjahat."

"Pak, saya dan teman-teman akan ke sana."

Putus Bagas meminta izin kepada Pak Imra, pemuda itu juga akan menyelamatkan calon gadisnya nanti. Bagaimana Bagas bisa tenang, beberapa jam setelah Kaara pergi tanpa pamit--perasaannya sudah tidak enak. Kekhawatirannya sudah mencapai ubun-ubun, sedangkan Aksan terlihat biasa saja.

"Kita sudah bisa ke sana, kondisi sudah kondusif," celetuk Aksan yang meraih jaketnya, menuju tempat parkir.

"Kondusif gimana?" Bara mengikuti Aksan--penasaran.

Tidak hanya Bara yang penasaran, tetapi Noval dan Putra juga langsung bergabung dengan teman barunya. Sedangkan Bagas langsung berjalan cepat sambil mengerutu tidak terima.

"Coba dari tadi kita berangkatnya."

"Gas, kalau Lo terus ngedumel, gue tinggal. Biarin Kaara sama Bara yang pacaran."

Bagas langsung mendelik tidak terima dengan ucapan Aksan.

"Wah, kalau itu gue mau, kapan lagi  bisa pacaran sama Kaara."

"Jangan macam-macam lo sama Kaara. Enak saja gue yang berusaha dapatkan dia, emang lo pingin gue pecat," omel Bagas menjitak kepala Bara.

Bara hanya mengusap kepalanya, menahan untuk tidak tertawa--sama seperti Noval dan Putra, keduanya hanya menjadi penonton. Hari mereka tergantikan dengan suasana lebih baik. Bahkan beberapa siswa mulai berani menyapa mereka, karena sikap yang mereka tunjukkan tidak lagi sebagai pembully tapi teman.

Bagaskara ( Tamat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang