21: Sambo

145 45 8
                                    

Tiba di bandara Soekarno-Hatta, Boren dijemput sejumlah pria berpakaian setelan hitam, yang menggiringnya memasuki mobil yang sama hitamnya. Ini sudah diketahuinya sejak awal, bahwa ada kelompok yang bakal menjemputnya dengan pengamanan ekstra.

Dan jelas, itu bukan karena Boren dianggap istimewa. Tetapi, justru bandul kalung berbentuk tabung yang melingkar dilehernya.

Entah apa itu. Tetapi Boren yakin, itu sesuatu yang buruk.

Semua berjalan tanpa basa-basi. Boren dibawa ke sebuah lab yang terletak justru di kawasan tengah kota Jakarta, yang memiliki pagar beton tinggi dan gerbang yang dijaga dengan ketat sekali. Itu gedung tua, tapi masih terawat. Ada bendera Amerika di sana, juga ada beberapa bule yang tampak mengenakan jas lab warna putih.

Seorang pria bule tua berkacamata terlihat maju dan menatap Boren,"Bagaimana perjalanan anda, Tuan?"

Boren tersenyum,"Baik, Tuan."

"Saya akan mengambil kalung yang berada di leher anda."

"Silahkan."

Dengan mudah, kalung itu dilepas dari kaitnya. Lalu pria tua itu membawa kalung tersebut ke meja lab. Seorang wanita datang membawa sebuah kotak dingin yang masih tampak mengepul asap beku. Kemudian bandul kalung dimasukan ke dalam kotak beku itu.

"Anda harus kembali ke hotel," kata salah satu pengawal Boren, mirip sebuah perintah.

Boren patuh, dia paham batas tugasnya. Tidak tahu banyak dan tidak bicara banyak, justru jauh lebih baik bagi nyawanya.

Saat sudah tiba di hotel, Pieters meneleponnya. Mengatakan, jika kerjanya sangat baik saat membawa kalung berbandul tabung itu ke Indonesia,"Aku pikir, kau perlu diberi bonus yang menyenangkan."

Usai mandi, lalu berganti pakaia, tiba-tiba pintu kamar hotelnya diketuk. Seorang pemuda, mengaku bernama Sambo, mengaku dikirim untuk mengajak Boren bersenang-senang. "Ada banyak gadis, makanan, dan tempat-tempat rahasia di Jakarta," ujarnya.

Boren mengangkat bahu,"Menurutku itu kurang menarik."

"Lalu, apa yang akan kau lakukan?" Selidik Sambo, sambil menghembus asap rokoknya.

"Aku ingin mencari seseorang?"

"Aha, gadis?"

Boren tidak menjawab, dia tak suka ada orang yang sibuk mengurusi masalah pribadinya. Dia hanya merindukan masa kecil, dan jika sempat bertemu Nura.

"Pieter bilang kau pernah tinggal di Indonesia saat kecil?"

Boren menatap Sambo dengan dahi berkernyit,"Apa saja yang dia ceritakan?"

"Oho, tenang bung! Sebagai tukang kawal, aku cuma diberi sedikit informasi. Bahkan Pieter sudah menduga jika kau bakal menjelajahi dunia masa kecilmu, dan mungkin, bakal mencari seseorang."

"Hmm...ya, aku mencari teman masa kecilku."

Sambo terkekeh,"Kau cuma pernah tinggal di Indonesia, bukan berarti kau paham karakter cewek-cewek di sini. Jika kau tak kunjung dilamar, maka dia akan dilamar orang lain. Cinta yang mendalam dari orang jauh, akan kalah dengan cinta orang yang dekat."

"Kami hanya teman."

"Betulkah? Seorang pria tidak akan terlalu repot untuk mencari dan merindukan teman perempuan masa kecil. Kecuali, jika dia memiliki sedikit perasaan kepadanya."

Boren terdiam. Dan tetap terdiam, ketika dia mengetahui bahwa ucapan si Sambo ternyata mengandung kebenaran.

Mana bisa Boren ingat saat itu. Dia jadi terluka. Luka yang seakan membuatnya sulit bangkit. Andai dia bisa setengah jam lebih awal, atau datang sehari sebelumnya, mungkin dia tidak akan sesakit itu.

Mata TertutupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang