13: LARI

616 100 33
                                    

Seorang wanita berusia 30 tahun, berlari lincah menantang kecipak air genangan becek. Kedua tangannya penuh minuman dan makanan ringan, hasil belanja di warung.

Silvia, tak pernah dewasa. Dia selalu seperti seorang anak kecil yang tak pernah tertarik untuk menjadi tua. Bersahabatpun, dia lebih nyaman bersama anak-anak saja. Dan hari itu, dia tak sengaja bertemu seorang anak perempuan kecil yang dilihatnya sedang membawa pistol, dan duduk sendirian di pinggir jalan yang mulai gelap.

"Kau pasti haus dan lapar. Ini, untukmu!" kata Silvia, setelah berhasil mengajak anak itu duduk di taman kota.

Matahari tak menjawab, dia hanya meraih botol air mineral dan meminum isinya sampai nyaris sampai habis.

"Waduh, kau haus sekali ya. Kasihan... eh, kenapa kamu membawa pistol mainan? Kamu kan anak perempuan?"

Matahari memandangi pistol di tangannya dengan lesu. Usai menembak Si Kevin yang hampir mencelakai keluarganya, mendadak dia kembali fasih berbahasa Indonesia.

"Jangan ganggu keluargaku, bajingan!" teriak Matahari, sambil menendang tubuh Kevin yang tersungkur berlumuran darah.

Semua orang di rumah itu, mendadak kaget dengan kalimat berbahasa Indonesia yang diucapkan anak itu, setelah sejak matanya dioperasi. Itu lebih mengagetkan, dari tembakan yang dia terlanjur lepaskan pada Kevin. Mungkin, meski mengerikan, tapi tindakannya dianggap justru menyelamatkan keluarga.

Tetapi Matahari, tetaplah anak kecil. Dia merasa sangat takut. Dia teringat, bagaimana ibunya Yani, langsung menjerit memanggilnya untuk kembali, tetapi dia malah sibuk mengenakan sandal dan malah berlari sekuat tenaga. Tak tahu tujuan, terus menjauh dari rumahnya. Sampai dia lelah, dan malah bertemu seorang wanita yang mengaku bernama Silvia. Wanita yang tidak tahu, bahwa Matahari sedang membawa senjata api genggam jenis revolver kaliber 32.

"Sampai sekarang, kamu tak pernah bercerita tentang siapa kamu dan keluargamu. Kamu selalu diam. Tampangmu bule, mungkin kau hanya bisa berbahasa Inggris. Sayang aku tak paham. Tapi ini sudah malam, apa kamu tak punya rumah? Emh... anu, house (rumah?)"

Matahari menggeleng.

"Tak punya atau tak mengerti bahasaku?"

Kembali, Matahari menggeleng.

"Mau ke rumahku?"

Tak perlu menjawab, karena Matahari cuma bisa mengikuti langkah Silvia. Rumah wanita itu tidak terlalu jauh dari taman. Sebuah rumah gedung tua kusam, dengan pagar besi penuh karat.

"Aku tinggal sendiri. Tetapi sesekali, Kakak-kakakku datang. Sejak orangtuaku meninggal, aku betul-betul kesepian. Aku juga tak menikah, seperti tidak berminat saja. Ada sih pria stres yang tampak terobsesi padaku, tapi aku tak menghiraukannya. Bagiku dia sedikit gila. Wah, banyak lelaki gila di dunia!" kata Silvia, sambil menyisir rambut Matahari, usai anak itu mandi dan dia beri baju ganti.

Kebetulan, Silvia memiliki baju-baju masa kecilnya yang dia simpan rapi di lemari besar. Rencananya, baju-baju itu akan dia sumbangkan ke panti asuhan. Selama ini, ibunya rapat menyimpan baju-baju lama tersebut, mungkin karena terbuat dari bahan bagus dan harganya dulu mahal jadi selalu disimpan. Keluarganya dulu memang berkecukupan, namun sejak bisnis kaos kaki bapaknya bangkrut, mereka cuma memiliki rumah tua itu saja.

Kakak Silvia ada dua orang, semua wanita dan telah berkeluarga. Mereka tak memaksa adiknya itu untuk menikah, sejak tunangan Silvia tiba-tiba menikah dengan wanita lain. Padahal mereka pacaran sejak SMP, dan lanjut hingga lulus kuliah di jurusan dan kampus yang sama. Menyakitkan bagi Silvia, ketika pria itu justru memilih seorang wanita yang baru dikenalnya sebulan.

Mata TertutupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang