15: Gadis Kroasia

648 90 27
                                    

Ini saatnya bersatu, karena Harsono, tiba-tiba meninggal. Tangisan terdengar deras dari dua biduk, baik dari Lembayung, maupun Enyun. Keduanya juga mendadak keluar dari rumah sakit, duduk di kursi roda dalam kondisi sibuk menjerit di depan liang lahat.

Laila, suami dan kedua anaknya cepat kembali dari Amerika, begitu pula Fransie yang meninggalkan kegiatan promosi wisatanya di Eropa, terlebih lagi tentunya Jingga yang menggandeng suaminya dan Chelsea dalam kejaran wartawan.

Dari kubu istri muda, tampak Kasful dan User Ali, begitu pula Yuni, Mozes Raditya dan Lintang Kamila. Sementara Yani, berulangkali pingsan dalam dekapan Julian. Musibah apalagi ini? Sudah anak nembak orang dan hilang, kini bapakpun mati.

"Dia hidup atau tidak, sebenarnya tak berpengaruh dalam hidup ini. Toh, kita juga tak pernah boleh mengakuinya sebagai bapak kan?" keluh Yuni, membuat Kasful melirik tajam padanya.

"Sudahlah, lupakan saja semua. Tanpa Papa, kita tak terlahir di dunia"

"Keuntungan lahir itu untuk apa? Untuk jadi bahan hinaan orang sedunia? Bibit pelakor, disumpahi orang saja nantinya. Bahkan sampai ke anak cucu!"

"Hentikan, Yun!" Kasful melotot lagi, matanya yang merah karena menangis, seperti makin meradang.

Yuni terdiam, mencoba menatap lurus saat upacara pemakaman dilaksanakan. Menyaksikan bagaimana anak-anak dari Mama Lembayung berdiri tepat di pinggir bakal kuburan Harsono. Sementara mereka, termasuk Mama Enyun, agak menjauh. Hak protokoler macam apa ini? Pria tua itu sudah mati, masih pentingkah menyimpan dan menutupi aibnya dengan mengorbankan perasaan istri kedua dan anak menantunya?

Yuni menghapus air matanya. Itu bukan tangisan untuk Harsono. Tapi luka bathinnya karena terus disakiti Bapaknya. Bahkan sampai matipun, mereka tak boleh lebih mendekat, agar semua orang tidak perlu tahu atau memperbincangkan dan mempertanyakan kesalahan masa lalu. Aib itu, meski sudah tersebar, seperti sengaja dibiarkan tertutup dalam makam pria yang selalu ingin dianggap sebagai "Orang Baik" tersebut.

"Setelah ini, beruntungnya tak bakal ada yang ribut soal warisan. Kau harus bersyukur, karena Harsono tegas menekan kehidupan Enyun dan anak-anaknya, sampai mereka bisa semandiri itu. Lagi pula, apa yang diwariskan Harsono selain cerita keburukannya?"

Lembayung menoleh pada Rindang Sewu, yang berlutut di sebelah kursi rodanya. Jika saja hari itu bukan acara pemakaman suaminya, dia ingin sekali membalas kalimat itu. Namun yang dilakukannya hanya bisa terdiam.

"Ini akhir hidup Harsono? Bini ada dua, tapi satupun tak ada yang menemaninya saat jelang kematian. Entah mengapa aku dulu sangat menyukai pria memalukan ini. Kau tahu, Lembayung, mengapa aku datang ke sini? Aku senang melihat dia akhirnya bisa di kubur. Itu saja..."

Kebencian itu, seperti begitu kuat dalam diri Rindang Sewu. Lembayung membiarkan adiknya menikmati kebahagiaan melihat Harsono lenyap dari dunia. Dia mencoba untuk tegar, termasuk ketika melihat Enyun yang turut hadir dalam acara pemakaman itu.

"Mama, tolong jangan buat masalah lagi. Matahari sudah menembak mati Kevin dan kini menghilang pergi. Lihat Si Yani, sampai pingsan terus kayak mau mati. Keluarga mereka sedang sangat tertekan. Tolong jaga sikap Mama, sampai acara pemakaman Papa berakhir..." bisik Jingga, saat mendorong kursi roda ibunya menuju tempat pemakaman.

Kenapa semua bisa harus menahan diri demi Harsono? Seberkuasa itukah dia, sampai matipun tetap bikin susah! Lembayung tak berhenti mengalirkan air mata, kesedihannya tumpah karena menyesali pertemuannya dengan pria itu. Andai dia tak jatuh cinta, pasti adiknya tidak terluka. Lalu apa tujuannya menikahi pria itu? Bahagia dengan menikmati perjalanan penghianatan cintanya dimana-mana? Enyun cuma bukti nyata, lalu wanita-wanita lain? Bukankah mereka tak lagi tidur bersama sejak Fransie lahir? Status cuma di atas kertas, namun tak lagi berlaku di atas ranjang. Itu lebih menyakitkan, dari apapun.

Mata TertutupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang