Boren tiba di bandara Soekarno-Hatta, tetapi tidak mengambil kopernya. Dia malah mendekati seorang anak muda yang tadi satu pesawat dengannya, untuk menanyakan tentang jaket yang dia pakai.
"Jaket, kacamata dan topimu sangat bagus, bisakah aku menukarnya dengan ini?" tanya Boren, sambil menunjukkan jam rolex ditangannya.
"Wow, oke, jika kau memaksa. Haha," kata pemuda itu, sembari menukar jaket dan topinya. Dia tampak senang saat memegang jam rolex di tangannya.
Sementara Boren langsung memakai topi, kacamata dan jaket itu dan tergesa melangkah. Dia tak ingin dikenali, oleh siapapun yang akan menjemputnya. Terutama oleh si Sambo, yang pasti akan mengawalnya.
Benarlah, Boren melihat Sambo di bandara. Tetapi, Boren lebih cerdik. Dia dengan cekatan, mencoba menyelinap, bergabung bersama rombongan turis yang tampak baru pertama tiba di Indonesia. Boren mengajak mereka bercakap dan bercanda, dan mengaku bahwa dirinya separuh Indonesia. Rombongan itu sukses melawati Sambo dan rekannya, yang tampak masih fokus menunggu kehadiran Boren.
Boren baru lega, saat dirinya sudah naik taksi meninggalkan bandara. Dia mencoba menarik sejumlah uang dengan kartu pribadinya, lalu bergegas mencari tiket kereta menuju Surabaya. Dia tak pernah ke kota itu, tetapi dari sana, dia tahu bisa lebih dekat menuju Bali. Boren merasa sedang tidak nyaman, karena lari dari tugas yang sudah diberikan Pieter, jadi harus mencari tempat jauh dari Jakarta.
Sengaja, dia tak membawa koper yang diberikan Estella. Sebab Boren tahu, itu juga ada alat pelacak, termasuk jam ditangannya yang sebenarnya memang jam yang diberikan Pieter sebelum mereka ke hotel. Lalu, sebelum sampai stasiun, Boren minta sopir mengantarnya untuk ke pasar untuk membeli pakaian murah agar dia tak terlihat seperti bule.
Saat di kereta, Boren sudah tahu, bahwa dirinya sedang dicari. Sebab Sambo pasti telah menghubungi Pieter, jika Boren tidak ditemuinya di Bandara. Jam tangan sudah berpindah, dan koper tidak diambil. Jika Boren masih berada di Jakarta, dia pasti ditemukan. Sebab itu, dia nekat ke Surabaya, lalu berencana menuju Bali.
"Liburan, Pak?" tanya pria tua di kursi di sebelah, membuat Boren tersenyum.
"Mau ke Bali, biar murah lewat Surabaya." sahut Boren, dengan bahasa Indonesia yang pastinya masih fasih. "Ibu saya keturunan Bali."
"Oh, pantas. Ya, memang mending nanti lanjut bus dari Surabaya."
Boren mengangguk, dia berniat akan banyak menguras uangnya di Bali, sebelum nanti akan mencari kota kecil untuk bersembunyi dengan uang yang dimilikinya. Dia memahami sedikit banyak tentang Indonesia. Boren juga yakin, Pieter tak akan membunuhnya, karena dia masih membawa kalung bertabung berisi virus.
Mereka membutuhkan itu, jadi pasti akan membuatnya tetap hidup sampai kalung itu dirampas.Boren menginap semalam di sebuah hotel murah di Jakarta, berusaha kembali menguras sisa uangnya di bank dari mesin-mesin anjungan tunai. Tapi dia berusaha menghindari hotel-hotel berbintang agar tidak terlacak Sambo dengan mudah. Pieter pasti telah bersiap menuju Indonesia juga, mungkin berharap bisa membujuk, sebelum menembak kepalanya. Boren paham itu, sebab itu, dia bertingkah seperti buronan yang menghindari "jalan besar". Bersembunyi di jalan sempit jauh lebih aman. Esok harinya, usai shubuh, Boren menuju Terminal Purabaya, sebab bus berangkat sekitar pukul 6 pagi. Dia juga tidak memilih bus kelas eksekutif, melainkan kelas ekonomi. Surabaya dan Bali, berjarak sekitar 420 kilometer, dan hanya terpisahkan oleh Selat Bali. Butuh waktu tempuh antara 13 hingga 15 jam perjalananan.
Rasa letih, seakan tak dirasakan Boren sama sekali. Dia sedang bingung dengan jalan yang dipilihnya sendiri. Benarkah jalan ini? Benarkah dia tidak ingin menjadi kurir virus mematikan lagi? Benarkah dia sebaik ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Tertutup
Science FictionMatahari adalah anak yatim piatu yang terlahir buta. Namun dia beruntung memiliki orangtua angkat, Julian dan Yani, yang sangat menyayanginya. Nasib baik, Matahari akhirnya bisa menerima donor mata saat dia berusia 11 tahun, dari Boren Sores, pembun...