13. Accident

1.1K 73 2
                                    

Vote!

●●◑

Jeffrey telah sampai di rumahnya. Kemudian ia berjalan ke kamar Devan untuk membuka pintu kamar Devan.

"Ayah. Maaf Jeff telat datang."

"Kamu sehabis dari mana?" Jeff tak menjawab.

"Anak itu benar-benar keterlaluan. Benar-benar anak tak tahu diuntung. Sungguh anak sial."

"Ayah yang keterlaluan. Ayah memaksa Devan untuk mendonorkan darahnya untuk Kak Khalil. Kondisi Devan benar-benar sedang tidak fit."

"Bagaimana keadaan Khalil?"

"Kak Khalil sudah mendapatkan donor darah. Esok pagi operasi akan dilaksanakan."

"Jeff akan mengobati luka di dahi Ayah."

Sahil duduk di ranjang Devan. Sedangkan Jeffrey, ia pergi ke kamar rawat untuk mengambil kotak P3K.

"Kamarnya ini sebenarnya untuk ART. Tetapi dia nyaman tidur di sini." ucapnya melihat sekeliling kamar Devan yang berukuran kecil dan rapi.

Netranya terfokus pada bingkai foto Ayrin mendiang istrinya.

Bunda Devan, Ayrin Kamila. Begitulah tulisan di secarik kertas yang tertempel di bingkai foto tersebut.

"Ayrin ... seandainya kamu tak pergi, aku takkan seperti ini. Membenci darah dagingku sendiri dan menganggapnya sebagai pembunuhmu. Sangat sulit menerimanya dan mengikhlaskan kepergianmu."

●●●●

Devan terus berjalan menyusuri trotoar jalan sambil menangis. Ia terus melangkahkan kakinya entah ke mana ia akan bersinggah. Yang ada di otaknya hanya satu, menjauh dari ayahnya.

Hujan menjatuhkan airnya tepat di tubuh Devan dengan deras. Devan mencari tempat untuk berteduh sementara waktu. Devan akhirnya berteduh di sebuah halte bus yang sepi.

Udara dingin datang menerpanya. Ia mengambil sebuah jaket untuk menghangatkan tubuhnya.

"Devan bingung harus ke mana malam ini? Devan juga tak peduli jika nantinya tertidur di jalanan."

"Bunda, seharusnya Bunda mengajak Devan pergi. Devan di sini menderita Bunda. Devan selalu disiksa. Devan lelah Bunda. Devan ingin ke tempat Bunda." Devan menangis di tengah hujan yang deras.

Hujan sudah reda. Tubuh Devan sedikit mengigil karena dinginnya udara malam ditambah hujan yang baru saja reda.

Devan berdiri dan melajutkan langkahnya menembus udara malam yang dingin.

"Bunda ..." Devan berlutut di samping pusara sang ibunda. Dan meneteskan air matanya.

"Devan kabur dari rumah. Devan tak mau mau lagi tinggal bersama Ayah. Badan Devan sakit. Batin Devan juga hiks ... Ayah kejam Bunda hiks ..." mulutnya tak henti-hentinya mengadu pada pusara mendiang ibundanya. Setelah meluapkan semuanya ia menangis.

●●●

Mentari sudah memancarkan sinar teriknya. Itu berarti hari sudah siang. Sepanjang perjalanan Sahil melihat ke kanan dan kiri untuk menemukan anak bungsunya. Matanya dengan jeli melihat satu persatu orang-orang yang sedang berjalan di trotoar maupun yang sedang duduk di halte bus.

Pelan-pelan Sahil mengendarai mobilnya, berharap ia dapan menemukan anak bungsunya itu.

"Ke mana lagi aku harus mencarinya? Apa dia baik-baik saja? Tidur di mana dia? Anak itu benar-benar kabur dari rumah."

Jangan Pukul Devan, Ayah!  (END) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang