19. Tentang Haikal

857 63 1
                                    

Vote sebelum membaca!

●●●

"Devan memang anak sial!" ucapnya ketika mendengar Syakir dan ayahnya, dr. Hilman adu mulut untuk kesekian kalinya karena dirinya. Syakir marah karena ayahnya selalu saja membela Devan dan mempertahankan Devan tinggal di rumah mereka.

"Kak Jeff hiks ... Kak Khalil ... Devan mau pulang saja. Devan tak pantas tinggal di sini. Devan menyusahkan. Dan Devan memang anak sial."

Devan bangun dan mengemasi barang-barangnya. Sebelum pergi meninggalkan rumah pamannya, ia meninggalkan secarik kertas berisi surat untuk pamannya.

Pukul 12 malam Devan keluar dari rumah pamannya secara diam-diam melalui pintu belakang rumah.

Sepanjang jalan ia berjalan dengan tatapan kosong melangkahkan kakinya menyusuri jalan yang sudah sepi dan hening.

"Bunda ... hidup Devan miris sekali. Kenapa Bunda tak membawa Devan ke sana? Dunia bagi Devan adalah neraka. Dan Ayah bagi Devan adalah algojo dan juga malaikat maut Devan."
Batinnya sepanjang jalan.

Sosok seorang ayah bagi anaknya adalah seorang malaikat pelindung anaknya. Seorang yang bertanggung jawab dan juga seorang yang sangat menyanyangi anak-anaknya. Tetapi, berbeda dengan Devan. Sosok seorang ayah baginya, berbanding terbalik dengan kenyataan. Baginya ayahnya adalah malaikat maut. Jika sudah memarahinya, ayahnya seperti akan menjelma menjadi iblis yang siap menghabisinya.

Suara derasan air sungai terdengar olehnya. Devan menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap ke arah sungai.

"Ayo, meloncatlah Devan!"

"Bukankah kau bilang kalau dunia ini kejam terhadapmu?"

"Hidupmu sungguh miris sekali, anak sial. Kau benar-benar anak sial. Meloncatlah dan semuanya akan berakhir, termasuk penderitaanmu."

Suara-suara ilusi itu kembali hadir di indera pendengarannya. Devan memejamkan matanya dan mulai meneteskan air mata.

"Mungkin ini yang terbaik. Maafkan Devan, Kak Jeff, Kak Khalil. Devan terpaksa melakukan ini. Devan sudah tak kuat. Benar-benar tak kuat. Sungguh." batinnya.

Devan menaiki besi pembatas di jembatan kemudian ia memejamkan matanya dan bersiap untuk mengakhiri hidupnya.

●●●

"DEVAAANNNN!!!" Khalil terbangun dan berteriak kencang. Ia sepertinya mengalami mimpi buruk. Di mimpinya mungkin terjadi sesuatu pada Devan adik bungsunya.

"Devan hiks ... Kakak bermimpi buruk tentangmu. Apa kamu baik-baik saja, Dek?"

"Astaghfirullah!" Khalil menangis tanpa suara. Ia sangat mengkhawatirkan adik bungsunya, Devan. Sudah tiga bulan lamanya ia tak bertemu dengan adik bungsunya itu.

Khalil bangun dan pergi ke kamar mandi untuk berwudu dan setelah itu ia menunaikan shalat tahajjud 2 raka'at untuk menenangkan hatinya.

"Ya Allah ... lindungilah adik hamba di mana pun dia berada. Hamba mohon pada-Mu, Ya Rabb ... jauhkanlah dia dari marabahaya dan juga hal-hal yang kau larang." doanya di sepertiga malamnya.

●●●●

Devan perlahan-lahan membuka matanya dan melihat di sekelilingnya.

"Di mana Devan?"

"Apa ada orang yang menyelamatkan Devan?"

"Untuk kesekian kalinya Devan gagal untuk mati. Kapan Devan mati? Devan ingin mati dan menyudahi penderitaan Devan di dunia yang kejam ini."

Jangan Pukul Devan, Ayah!  (END) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang