17. Rasa trauma

1.3K 73 3
                                    

Vote juseyo!

●●●

"Terima kasih Nak, sudah mau kembali." Agung meneteskan air mata dan mengecup punggung tangan Devan.

Satu jam yang lalu detak jantung dan deru nafas Devan kembali saat Agung hendak menaruh tubuh Devan di atas brankar yang berada di kamar mayat.

"Ya Allah, bukakan pintu hati Sahil. Sudah 16 tahun yang lalu, tetapi dia belum mengikhlaskan kepergian istrinya dan menerima kenyataan." Agung kemudian membuang nafasnya dengan kasar.

"Setelah ini aku akan membawa Devan tinggal bersamaku. Semoga saja Jessica mau menerima Devan tinggal di rumah."

●●●

Di lain tempat, Khalil sudah tersadar dari pingsannya. Begitupun dengan Jeffrey. Mereka terdiam. Air mata mereka terus berlinang. Mereka belum siap menerima kenyataan yang menyakitkan ini.

"Devan ..." Air mata Khalil kembali menetes.

"Kak Khalil, kita hanya mimpikan? Bukan kenyataan?" Jeffrey masih berharap ini tak nyata.

"Bukan Dek. Ini nyata." jawabnya dengan tatapan sedikit kosong.

"Kakak jangan berbohong!" tegasnya. Jeffrey menangis histeris. Ditengah isakannya ia terus memanggil nama adik bungsunya.

"Jeffrey, Khalil." panggil Agung dari pintu kamar. Kemudian ia menghampiri kedua keponakannya.

"Devan, dia kembali."

Mendengar ucapan pamannya itu, Jeffrey dan Khalil turun dari ranjang dan bersujud syukur kepada Allah karena telah memberikan kesempatan untuk Devan.

"Devan sekarang berada di mana Om?" tanya Jeffrey.

"Om berkata benar 'kan? Om Agung tak berbohong?" Khalil kembali bertanya untuk memastikan pamannya tak berbohong.

"Om tak berbohong Nak. Devan, dia sekarang berada di ICU. Doakan agar adikmu lekas sadar. Jika Devan sudah siuman dan sembuh, Om akan mengajaknya tinggal bersama Om."

"Om, kami menolaknya. Biarkan Devan tinggal bersama kami. Kami bisa menyewa rumah atau apartemen untuk tempat tinggal kami bertiga." tolak Jeffrey.

"Lagi pula, bukankah Tante Sica tak menyukai Devan?" sambungnya.

"Kami tak ingin Devan tertekan lagi. Cukup ini yang terakhir." sambung Khalil.

"Baiklah jika itu mau kalian. Om tak memaksa dan ucapan kalian ada benarnya."

●●●

Pukul 19.00 WIB, Agung menunggu seseorang di sebuah restoran yang tak jauh dari rumah sakit tempat Devan dirawat. Sesekali ia menatap arloji yang berada di lengannya.

"Maaf Mas, aku telat datang." Kemudian orang tersebut duduk di hadapan Agung.

"Tak apa. Hanya telat sepuluh menit dari waktu yang seharusnya."

Sebelum mengobrol, mereka memesan menu makanan untuk makan malam mereka.

Setelah selesai menyantap menu makan malam yang mereka pesan, Agung membuka pembicaraan.

"Akhyar, apakah aku bisa melaporkan kasuk kekerasan Sahil kepada anak bungsunya?" Akhyar mengernyit bingung setelah mendengarkan ucapan Agung.

Jangan Pukul Devan, Ayah!  (END) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang