Sejak pagi Aksyatra sudah sibuk di ruangannya. Ia dan para petinggi kerajaan lainnya, termasuk Panglima Yusya disibukkan dengan pembahasan tentang perang di Lembah Surez. Tidak ada rencana yang berubah, hanya saja mereka perlu berdiskusi tentang kemungkinan terburuk yang akan mereka hadapi nantinya.
Di tengah-tengah rapat yang eksklusif itu, salah seorang prajurit datang dan memberikan kabar kepada mereka semua. Prajurit itu mengatakan bahwa Sang Puteri dari Kerajaan Samkha yaitu Puteri Galia baru saja kembali dari perjalanan ziarahnya ke makam Sang Ratu. Sontak saja mereka semua yang hadir di rapat itu bergegas menyudahi rapat itu dan pergi menyambut kedatangan Puteri Galia.
Dari mereka semua yang hadir di ruangan itu, Aksyatra menjadi yang paling terakhir meninggalkan ruangan. Bukan karena apa-apa, tetapi dia hanya tidak suka meninggalkan meja kerjanya dalam keadaan yang masih berantakan. Dia juga terbiasa merapihkan meja kerjanya sendiri, itulah alasan mengapa ia terlambat menyambut kedatangan Puteri Galia.
Di lain tempat, kini kereta kuda Puteri Galia baru saja sampai di depan pintu istana. Nampak, beberapa petinggi telah hadir dan berdiri menyambutnya dengan wajah gembira.
Sebelum keluar, Puteri Galia menilik dari balik jendela keretanya. Sementara matanya sibuk mencari sosok yang telah lama tidak dijumpainya. Namun, ketika manyadari sosok itu tidak ada di sana, ekspresi wajahnya berubah kecewa.
Akhirnya dengan perasaan yang penuh kekecewaan Puteri Galia pun keluar dari keretanya. Wajahnya gusar dan terlihat tidak begitu ramah sementara orang-orang yang menyambutnya tersenyum hangat kepadanya.
Lalu ia melihat ke sekelilingnya lagi dan menyadari ada seseorang lagi yang tidak hadir. "Di mana Ayahku?" Tanya nya dengan wajah cemberut.
Sontak saja semua yang hadir di sana terdiam, seolah-olah mereka tak berani menyampaikan kondisi sebenarnya Sang Raja. Melihat itu, Sang Puteri pun mengulangi lagi pertanyaannya hingga akhirnya ada salah satu dari para petinggi yang hadir memberanikan diri untuk bicara.
"Tuan Puteri, Yang Mulia Raja ... Yang Mulia sedang sakit." ucap salah satu petinggi yang tidak lain adalah Jendra Edgar.
Mendengar itu, Sang Puteri terkejut. Wajahnya tak percaya sekaligus tak terima. Ia pun menatap dengan marah satu persatu para petinggi yang berdiri di hadapannya. Sementara tak satu pun dari para petinggi itu berani mengangkat wajahnya dan menatap balik Sang Puteri.
"Mengapa kalian tidak langsung mengabariku?!" cecarnya tak terima. "Apa karena aku hanyalah seorang puteri sehingga tidak begitu penting?!"
Mendengar itu Panglima Yusya yang hadir di sana pun akhirnya ikut angkat bicara. Ia mencoba menjelaskan kepada Puteri Galia tentang alasan mengapa Sang Puteri tidak segera diberitahu. Namun, Sang Puteri yang terlanjur marah itu menolak penjelasan apapun darinya, sampai akhirnya seseorang yang terlambat untuk hadir pun datang ke tengah-tengah mereka.
"Galia, aku yang meminta mereka untuk tidak memberitahu mu." ucapnya setibanya di hadapan Sang Puteri.
Puteri Galia menatap tak suka kepada kakaknya itu. "Mengapa kau lakukan itu? Apa hanya karena kau seorang Putera Mahkota jadi kau bisa seenaknya?" balas Puteri Galia.
Pangeran Atraz hanya diam tanpa mengatakan sepatah katapun dan menatap adiknya itu dengan ekspresi datar. Sepanjang sejarah hidup kakak beradik itu memang tidak pernah akur. Hal itu terlihat dari sifat mereka yang bertolak belakang satu sama lain.
Puteri Galia yang terlihat sangat ekpresif, riang, menyenangkan dan Pangeran Atraz yang kurang ekspresif, pendiam, dan membosankan. Dari semua perbedaan yang nampak jelas itu mereka hanya punya satu kesamaan, yaitu mereka sama-sama punya sifat ambisius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lari Ke Hutan
FantasyPenyebab kematian Raja Atyich yang simpang siur memicu perselisihan antara dua kerajaan besar. Raja Samkhatra dituduh mengirim mata-mata untuk membunuh. Sementara itu, Aksyatra sebagai penasihat kerajaan pergi ke negeri musuh untuk mencari obat pe...