11. Ditawan

3 1 0
                                    

Kematian Panglima Yusya membuat Aksyatra sangat terpukul. Itu semua dikarenakan Panglima Yusya adalah sahabat terdekatnya, orang yang selalu ada untuknya. Sayangnya, kini kematian telah memisahkan mereka berdua. Satu-satunya yang ia harapkan bagi sahabatnya itu hanyalah berharap agar sahabatnya bisa beristirahat dengan tenang.

Seusai melangsungkan pemakaman bagi Panglima Yusya di kaki Gunung Surez, Aksyatra langsung menuju tendanya. Di dalam tendanya itu, Aksyatra menangisi kepergian sahabatnya itu untuk selamanya. Terasa sulit baginya untuk kembali berperang tanpa kehadiran Panglima Yusya. Tapi, kewajiban tetaplah kewajiban. Ia harus melaksanakan tugasnya.

Aksyatra pun mengusap air mata yang membasahi pipinya. Melirik ke arah pedangnya yang ditaruhnya di atas meja. Menarik nafasnya dalam, mencoba sekuat tenaga untuk mengumpulkan kembali semangat berperangnya. Setelah dirasa cukup, ia pun meraih pedangnya dan segera keluar dari tendanya dan menemui pasukan prajurit yang sudah siap berbaris menunggunya.

"Apakah kalian semua siap?!" tanya Aksyatra dengan suara lantang kepada seluruh prajurit.

Semua prajurit pun menjawab dengan serentak dan tak kalah lantang. Mereka telah siap untuk berjuang membela kerajaan mereka. Melihat semuanya telah disiapkan untuknya, Aksyatra pun menaiki kuda hitam miliknya. Sambil mengacungkan pedangnya dan kembali berteriak lantang, ia memberi komando untuk turun ke lembah.

Kini kedua pasukan telah kembali ke posisinya masing-masing dan terdengar tabuhan genderang perang yang menandakan dimulainya perang kembali.

Berbeda dari kemarin, hari ini Aksyatra tidak merasa takut ataupun gelisah. Begitupun juga para prajurit Samkha yang kali ini terlihat lebih beringas. Terlihat dari wajah mereka yang penuh amarah setelah menerima kematian salah satu Panglima terbaik kerajaan mereka.

Kematian Panglima Yusya rupanya telah melukai hati seluruh prajurit Kerajaan Samkha yang ikut serta dalam perang itu. Itulah yang menjadi pengobar api semangat di hati para prajurit saat itu.

Satu persatu prajurit hingga jendral dari pasukan musuh berjatuhan. Yang lebih menakjubkan adalah mereka bahkan mati di tangan prajurit biasa milik Kerajaan Samkha. Itulah akibatnya jika berani membangunkan singa yang sedang tertidur.

Sedangkan Aksyatra sendiri berhadapan langsung dengan dua orang terhebat dari pihak musuh, yaitu Pangeran Atyich dan Jendral Helixian. Ketiganya beradu pedang cukup sengit bahkan ketiganya sampai turun dari kudanya masing-masing.

Hingga akhirnya dalam suatu kondisi Aksyatra pun terjepit sementara para prajurit lainnya tidak ada yang dapat menolongnya. Mereka semua terlalu sibuk menghadapi pasukan musuh yang terus bertambah dan seperti tidak ada habisnya.

Alhasil Aksyatra pun terkunci di antara dua lawannya itu. Sebab kini ujung pedang Pangeran Atyich telah berada tepat di dada kirinya dan ujung pedang milik Jendral Helixian berada di lehernya. Mereka siap untuk menikam dan menebas kapan saja Aksyatra melawan.

"Berlutut dan taruh pedang mu!" perintah Pangeran Atyich pada Aksyatra yang hanya bisa menurut.

Aksyatra pun berlutut lalu meletakkan senjatanya di tanah dan dengan segera Pangeran Atyich menendang pedang itu menjauh dari jangkauan Aksyatra. Sambil terus menodongkan pedangnya, Pangeran Atyich menyempatkan untuk tertawa mengejek pada Aksyatra.

Salah satu Jendral dari pasukan Samkha yaitu Jendral Cohenn melihat pemandangan itu dan mencoba menyelamatkan Aksyatra. Namun, ia dihalangi oleh Jendral Helixian. Keduanya lalu beradu pedang cukup sengit, tetapi kemudian dengan mudah Jendral Helixian berhasil melumpuhkannya dan melucuti senjatanya.

Kini, kondisi Jendral Cohenn tidak jauh berbeda dengan Aksyatra. Keduanya hanya dapat menuruti perintah Helixian dan Pangeran Atyich. Keduanya berlutut dan secara resmi menjadi tawanan perang.

"Berdiri!... Jalan!" ucap Pangeran Atyich pada Aksyatra dan Jendral Cohenn yang menurut saja.

Sambil masih menodongkan pedangnya, Pangeran Atyich dan Jendral Helixian membawa mereka menjauh dari zona perang menuju pos yang menjadi markas bagi pasukan Tyichiza. Dibantu dua prajurit Tyichiza lainnya, Aksyatra dan Jendral Cohenn diborgol lalu di bawa menuju kurungan sementara yang disediakan khusus bagi para tawanan.

Dalam perjalanan itu Aksyatra tidak berhenti memperhatikan sekitarnya. Terlihat olehnya banyaknya penjagaan ketat yang diterapkan. Di setiap sudut markas itu di jaga oleh belasan pengawal dan terkhusus di area tempat ia dan Jendral Cohenn akan dibawa.

"Menunduk!" Perintah salah satu pengawal yang membawa mereka. Namun sayangnya ucapan itu tidak ia gubris.

"Kubilang menunduk!" Perintah pengawal itu lagi dengan suara meninggi seraya melecuti kaki Aksyatra dengan tali sabut.

Sambil melirik ke arah Jendral Cohenn yang berjalan di belakangnya, Aksyatra menjawab pengawal itu, "Aku hanya memastikan kalian tidak memisahkanku dengan dia."

"Diam kau, tawanan dilarang berbicara semaunya!" balas pengawal yang satunya.

Aksyatra berniat membalas ucapan pengawal itu lagi tetapi kemudian Jendral Cohenn memberinya isyarat dengan matanya kepada Aksyatra untuk tenang dan tidak membuat masalah. Setelah mendapat isyarat itu, akhirnya Aksyatra pun mencoba untuk lebih mengendalikan emosinya dan menuruti saja kemauan para pengawal itu.

Akhirnya, setelah berjalan cukup jauh mereka pun sampai di salah satu sel, tempat dimana mereka akan dikurung. Sebuah sel berbentuk persegi, ukuran 1 kali 2 meter, dan hanya muat untuk dua orang. Sel itu terbuat dari teralis besi yang terhubung dengan tali tambang dan katrol untuk membuka tutup selnya.

Keduanya pun masuk ke dalam sel itu. Dari dalam sana mereka bisa melihat pemandangan sel-sel lainnya. Sel-sel yang juga sudah terisi dengan prajurit Kerajaan Samkha yang lebih dulu menjadi tawanan.

Nampak dari wajah mereka yang putus asa dan ketakutan itu. Mereka hilang harapan. Aksyatra tahu itu, dia paham sekali bagaimana rasanya. Tapi apa boleh buat. Ini satu-satunya jalan untuk mengetahui siapa dalang dari semua yang terjadi. Siapa orang dalam istana yang berkhianat dan apa motif dari rencana jahat mereka.

Terdengar oleh Aksyatra salah satu tawanan itu menangis. Pria muda yang sepertinya adalah prajurit baru itu jatuh tersungkur sambil berlirih. Dia pikir mungkin dirinya benar-benar tidak akan pernah menemui calon anaknya yang akan segera lahir ke dunia ini.

Sementara itu, tawanan yang lainnya lagi juga menangis setelah disiksa dengan rantai para Algojo yang tidak menampakkan wajah belas kasihan.

Menyaksikan semua kejadian itu dari dalam penjara membuat Aksyatra ikut sedih. Begitupun juga dengan Jendral Cohenn yang tidak kuat menahan air matanya.

"Kau menangis, Cohenn?" tanya Aksyatra. "Padahal kau adalah prajurit yang paling tegar yang pernah ku kenal."

"Aksyatra, aku merasa sangat perihatin dengan apa yang prajurit kita alami disini."

"Cohenn, apa yang mereka telah lakukan pada prajurit kita sangatlah tidak adil." ucap Aksyatra berbisik pada Jendral Cohenn.

"Aku berharap rencana kita ini berhasil, Aksyatra."

"Aku juga berharap begitu." balas Aksyatra.

BERSAMBUNG.

Lari Ke HutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang