16. Sera

6 1 0
                                    

"Kau yakin ingin pergi sendiri?" tanya Lazzar untuk ke sekian kalinya.

Aksyatra mengangguk penuh keyakinan. "Aku butuh waktu sendiri untuk berpikir," ucapnya sedih. "Lagi pula sekarang aku tidak punya rumah untuk pulang."

"Tidak, kau bisa pulang ke Suba... aku akan menjamin keamanan mu." balas Lazzar.

Aksyatra menggeleng menunjukan pada Lazzar bahwa keputusannya sudah bulat. "Baiklah kalau begitu." ucap Lazzar pasrah, dia tak mau memaksa, mungkin memang yang terbaik bagi Aksyatra saat ini adalah menghabiskan waktunya sendiri.

"Kau tau kemana kau akan meminta bantuan kan?" ujar Lazzar lagi sebelum pergi.

Aksyatra tersenyum. "Ya, aku tahu." jawabnya sebelum akhirnya mereka berpisah di tepi sungai yang memisahkan Kerajaan Tychiza dan Kerajaan Aproda itu.

Sementara Lazzar menyeberangi sungai dengan perahu, Aksyatra meneruskan perjalanannya ke Utara, menuju Air Terjun Zigar, tempat di mana ayah dan ibunya dimakamkan.

Dalam perjalanan yang cukup panjang itu, sempat terbesit di pikiran Aksyatra untuk meneruskan dengan berjalan kaki dan meninggalkan kuda itu di tengah hutan. Bukan karena apa, tapi Aksyatra merasa bersalah telah mencuri.

Mungkin pemiliknya sedang menantinya, pikir Aksyatra.

Mungkin saja jika ditinggalkan sendiri di hutan, pemiliknya akan menemukannya atau setidaknya kuda itu tahu jalan pulangnya sendiri. Karena tidak seperti Aksyatra, kuda itu pasti punya rumah dan seseorang yang mencintainya.

Namun, tiba-tiba terdengar sesuatu. Sesuatu seperti suara dencingan pedang yang tengah beradu dan membuat Aksyatra mengurungkan niatnya, mencari dari mana arah suara itu berasal.

Dari balik rimbunan semak hutan, mata Aksyatra menyelidik di antara celah dedaunan. Menyadari ada seseorang di sana, Aksyatra pun pelan-pelan menyibak dedaunan yang menutupi pandangannya itu.

Dilihatnya ada dua pengawal berpakaian sama sepertinya yang terlibat perkelahian dan menyerang satu sama lain. Sebenarnya Aksyatra tidak mengenal kedua orang itu dan dirinya juga tidak tertarik untuk mengetahui apa permasalahan yang terjadi di antara keduanya.

Namun, ada sesuatu hal yang kemudian menarik perhatiannya ketika menyaksikan dua orang itu saling menyerang dengan sengit dan salah satu dari keduanya mulai terhimpit.

Sadar akan mengalami kekalahan, dengan cepat pengawal yang satunya menusukkan pedangnya ke perut lawan. Pertikaian itu pun berakhir dengan tersungkurnya salah satu dari kedua pengawal itu.

Pengawal yang telah terjatuh tersungkur itu berteriak kepada pengawal yang menang, "Jangan sakiti Puteri Zatyach, kumohon!" Namun, pengawal yang menang itu pergi tanpa menggubris ucapan pengawal yang terluka parah dan hampir tidak sadarkan diri itu.

Melihat itu Aksyatra tergerak untuk menolongnya. Namun, Aksyatra ragu jika dia menolong pengawal itu, akankah pengawal itu melaporkan keberadaanya kepada Kerajaan Tyichiza, dan jika itu terjadi maka itu hanya akan membahayakan dirinya sendiri.

Setelah berpikir sejenak, Aksyatra pun mengurungkan niatnya dan akan beranjak pergi. Tetapi, tiba-tiba pengawal itu berteriak ke arahnya. Rupanya pengawal itu telah melihat kehadirannya di balik semak-semak.

"Hei, tolong..., tolong aku!" pintanya memohon.

Karena pengawal itu memohon dengan sangat dan Aksyatra merasa tidak tega jika mengabaikan, akhirnya dia putuskan untuk menolong pengawal itu. Dengan sigap dirinya pun menghampiri dan menuntun pengawal itu berjalan lalu menempatkannya di tempat yang aman.

"Sepertinya kau butuh minum, tunggulah sebentar di sini!" ucap Aksyatra lalu pergi mengambilkan air dari sungai yang letaknya tak jauh untuk diminum si pengawal yang sudah cukup banyak kekurangan cairan. Tidak lupa juga Aksyatra mengambil beberapa tanaman obat seadanya yang dia ketahui dapat menyembuhkan luka dalam maupun luar.

Lari Ke HutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang