4. Penyelamat Atau Musuh?

9 1 0
                                    

"Mengapa tiba-tiba kau menangis?" tanya Aksyatra seraya menghampiri lalu duduk di sebelah Puteri Zatyach.

Puteri Zatyach menyeka air matanya lalu menatap tidak suka kepada Aksyatra, "Kau tidak mengerti apa-apa!" jelasnya.

Aksyatra diam saja setelah Puteri Zatyach mengatakan itu kepadanya. Tetapi, kemudian ia melihat ke arah mata Sang Puteri yang menyiratkan kesedihan yang disembunyikan.

Aksyatra menyadari itu dan refleks menyentuh bahu Puteri Zatyach. "Tidak perlu menahan untuk tidak menangis." Katanya seraya tersenyum di akhir kalimatnya, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Sang Puteri duduk sendirian.

Puteri Zatyach hanya diam dan menatap kepergian Aksyatra dengan tatapan sendu. Setelah itu, diliriknya kembali belati yang ada di tangannya dan tak terasa olehnya, matanya kembali berkaca-kaca. Ia menangis, terisak hingga suara isaknya terdengar sampai ke ruangan tempat di mana Aksyatra berada.

Sementara itu, di ruang sebelahnya, Aksyatra sendiri berbaring di sebuah ranjang. Ranjang yang terbuat dari bahan kapuk dan rotan, dan hanya muat untuk satu orang. Ia berbaring menghadap langit-langit rumah tetapi matanya menatap ke arah botol kaca yang dipegangnya.

Masih terdengar olehnya suara isak tangis Puteri Zatyach yang seiring waktu semakin lama semakin memudar karena tergantikan oleh gemuruh hujan dan petir dari luar. Aksyatra tidak bisa tidur, padahal saat itu malam sudah cukup larut.

Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya dan membuatnya cemas. Sesuatu yang sangat penting baginya, bahkan lebih penting daripada dirinya sendiri. Dia sedang memikirkan keselamatan Raja Samkhatra.

Tentang bagaimana caranya agar dia dapat membawakan obat itu sesegera mungkin, karena Raja Samkhatra sangat membutuhkannya. Tapi, di satu sisi, ia juga tak bisa berbuat banyak karena para prajurit yang sedang mengejarnya.

Akhirnya, dikarenakan tak bisa tidur, Aksyatra memutuskan untuk mendekat ke jendela. Dari balik jendela itu, dilihatnya air hujan yang berjatuhan begitu deras dan angin yang bertiup kencang menyapu jalanan yang basah serta menggugurkan dahan-dahan pepohonan di hutan.

Malam itu, Aksyatra sibuk melamun dan di saat itulah akhirnya dia pun tertidur dan tanpa disadari olehnya, pagi pun tiba. Badai juga telah berlalu, menyisakan jejak-jejak kerusakkan di mana-mana.

Saat terbangun, Aksyatra langsung melihat ke luar jendela. Dilihatnya beberapa pohon telah tumbang dan menutup akses-akses jalan. Lalu Aksyatra mendengar sesuatu yang bising dari bagian belakang rumah.

Tentunya Aksyatra yang merasa cemas langsung mencari keberadaan Puteri Zatyach di ruangannya. Namun, sayangnya Sang Puteri sudah tidak ada lagi di sana. Lalu, terdengar lagi suara bising itu.

"Tuan Puteri!" panggil Aksyatra dengan suara sedikit lebih keras, tetapi masih tak ada jawaban.

Akhirnya, Aksyatra pun berjalan ke arah suara bising itu, yang ternyata membawanya ke dapur, tempat di mana Puteri Zatyach tengah sibuk menyiapkan sarapan. Entah ia sedang jatuh hati atau apalah namanya, tetapi saat melihat pemandangan itu, Aksyatra benar-benar merasakan jantungnya berdegub kencang.

Kecantikan Sang Puteri telah membiusnya, membuatnya merasa lupa akan segalanya. Padahal sebelumnya pikirannya telah disibukkan dengan banyak hal. Namun, saat melihat Sang Puteri dalam sekejap semua itu hilang.

Tersadar dari lamunannya Aksyatra langsung merapikan pakaiannya yang kumal lalu menghampiri Sang Puteri di meja makan. Rupanya kehadirannya langsung disadari oleh Sang Puteri yang balas menatapnya dengan tatapan yang cukup aneh. Entah apa yang sedang dipikirkan Sang Puteri, dia juga penasaran.

"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Aksyatra.

Seketika Sang Puteri langsung melemparkan pandangannya ke arah lain, seolah ia kembali sibuk menyiapkan sarapan. "Aku hanya tidak biasa mendapati orang lain di sini selain mendiang Ayahku." Katanya sambil menuang masakan ke dalam mangkuk di atas meja.

Lari Ke HutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang