3. Teror

1 3 0
                                    

"Novaaaaaan!" teriak Nadin kencang, cowok itu sudah menarik hidungnya hingga memerah. Novan melarikan diri menjauh dari gadis itu, takut dirinya akan diterkam.

"Lo kenapa, Nad?" tanya Nayla yang baru saja datang karena mendengar teriakan dari gadis itu.

Nadin menunjuk hidungnya sendiri, "Lihat nih! Kerjaan tuh bocah curut!" tunjuknya penuh emosi ke arah Novan yang saat ini melirik ke arahnya dengan tertawa puas.

Nadin hanya membuang napas panjang, lalu duduk di kursi panjang. Nayla ikut duduk di sampingnya. Tatapan mata Nayla dan Novan kini bertemu, dan cowok itu berjalan mendekati mereka. Novan tidak akan takut lagi karena sudah ada Nayla di sana.

"Nad, geser." titah Novan dengan suara kecilnya, hanya Nadin yang bisa mendengar itu. Mata Nadin membulat, lagi-lagi dirinya kesal seperti ini. Baru beberapa detik reda sekarang bertambah lagi. Gadis itu ingin protes namun Novan sudah memasang wajah memelasnya. Nadin lemah mengenai hal itu.

Dengan sedikit berat hati Nadin berdiri dari duduknya mempersilakan untuk Novan yang menggantikan dirinya duduk. Nayla kebingungan, kenapa ada pertukaran seperti itu?

"Kok Nadin berdiri?"

"Biasa, Nay. Si bocil nggak kuat berdiri, lemah!" jawab Nadin cepat terdengar menyudutkan Novan.

Cowok itu tidak terima. "Lo jangan buka kartu dong," Nadin hanya memeletkan lidahnya ke arah Novan membuat cowok itu mendengkus. Apa-apaan sahabatnya itu?! Benar-benar harus diberikan pelajaran.

Suara dari ponsel Nadin mengalihkan atensinya. Tangannya meraba sakunya dan mengeluarkan benda persegi itu. Melihat layar ponselnya beberapa detik, kemudian wajah gadis itu berubah bingung. Ia melihat ke arah Novan, cowok itu sedang asyik berbicara dengan gadis di sampingnya.

Panggilan dari Nadin tidak cowok itu gubris, ia terus saja tertawa bersama Nayla. Hal ini membuat Nadin bingung, apakah kedua remaja itu yang tuli ataukah memang suaranya yang tidak sampai ke telinga mereka?

Tanpa pikir panjang lagi gadis itu melenggang pergi secara diam-diam, ingin memberitahu pun ia tidak didengarkan.

"Nay, lo tinggal sendirian?"

"Enggak sih, gue bareng Papa gue. Kalau Mama... Dia udah ada di surga." bisa Novan lihat jika terdapat sebuah kesedihan mendalam dimata gadis itu ketika mengatakan kalimat terakhirnya.

Novan tidak tahu mengenai orangtua gadis itu, tapi pertanyaannya sudah mengundang kembali kesedihan Nayla. Ia merasa sangat bersalah sekarang.

"Sorry, Nay. Gue nggak tahu kalau Mama lo udah nggak ada,"

Nayla tersenyum simpul, "Nggak apa-apa, Van. Di sekolah ini, baru lo aja yang tahu tentang ini."

"Nay, lo mau ke kantin nggak? Gue traktir deh," tawar Novan demi mengusir perasaan bersalahnya. Ia juga tidak mau membuat gadis itu kembali ke duka yang amat berat baginya. Meski Novan tidak tahu bagaimana kejadiannya, tapi ia tahu jika kehilangan seseorang yang kita sayangi itu sangat menyakitkan.

Nayla mengangguk sebagai jawaban. Novan tersenyum dan mulai berdiri, melirik ke arah tempat tadi Nadin berada namun gadis itu sudah tidak ada.

"Lho, Nadin kemana?"

Nayla ikut melihat ke arah pandang cowok itu, dan tidak menemukan adanya Nadin. Bisa Nayla lihat kekhawatiran yang besar tercetak diwajah Novan.

"Kebiasaan banget sih! Pergi nggak bilang-bilang."

"Kayaknya Nadin ke kelas deh, Van." ucap Nayla berusaha untuk tidak membuat Novan berpikiran negatif.

Lantas Novan berjalan menuju kelasnya diikuti oleh Nayle di belakangnya. Gadis itu menyesuaikan langkah kecilnya dengan Novan yang ingin sampai di kelas dengan cepat. Tidak melihat Nadin di sampingnya membuat dirinya merasa kurang.

NOVAN SANJAYA | FRIENDZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang