16. Pembunuh (END)

5 1 0
                                    

"Kami menemukan dompet dan jam tangan ini ketika mengevakuasi korban pembunuhan yang dibuang ke sungai."

Kaki Novan terasa seperti jelly, melihat benda itu ada di depannya sekarang. Tangan Novan perlahan terulur untuk menyentuh barang itu. Matanya mulai memanas, namun ia tetap berusaha berpikir positif sekarang.

"Korban dilarikan ke rumah sakit terdekat dengan keadaan luka parah."

Nadin membekap mulutnya sendiri. Ia juga tahu jika dompet dan jam tangan itu adalah milik Allegra, ayah nya Novan. Cairan bening itu kini membasahi pipi gadis itu. Dada Nadin naik turun menahan sesak. Menggelengkan kepala beberapa kali, menolak fakta yang ia dengar barusan.

"Nggak mungkin..." lirih gadis itu parau.

Satu titik berhasil jatuh membasahi pipi Novan, hingga ia tersadar dan mengingat telepon yang tadi. Telepon dari rumah sakit yang mengabarkan kondisi ayahnya. Tanpa berpikir lagi, Novan menarik tangan Nadin untuk bergegas. Menancap gas dengan kecepatan tinggi. Ia tahu ada Nadin dibelakangnya namun ia juga sudah melatih gadis itu setiap harinya.

Ketika sampai di rumah sakit, langkah besar cowok itu sulit diimbangi oleh Nadin hingga ia harus berlari kecil dengan air mata yang terus mengalir. Novan mendapat kabar bahwa ayahnya dalam keadaan kritis dan terjadi pendarahan hebat.

"Pasien atas nama Allegra?"

"Di ruang ICU, Mas, bis..." belum sempat suster itu menyelesaikan kalimatnya namun Novan dengan cepat berlari menuju ruang yang ditunjukkan. Pipinya sudah basah dengan air mata, pun dengan Nadin yang tidak hentinya menangis sesenggukan.

Tidak berselang lama, dokter keluar. Novan bukan lagi bertanya pada sang dokter, melainkan masuk ke dalam ruangan dingin itu. Bisa ia lihat jika mata ayahnya masih terbuka. Bukan hanya itu, Novan melihat kepala ayahnya yang dipenuhi darah. Bibirnya yang sobek, mungkin akibat benda keras yang menghantamnya. Luka tusuk di perutnya, dalam dan panjang. Novan bergidik ngeri melihatnya.

"Yah... " parau nya, memegangi tangan ayahnya.

"V-van... Ma-aff-in.. ay-yah..." Novan menggelengkan kepalanya. Air matanya terus saja membasahi pipi. Nadin juga mulai datang lalu Allegra memberikan senyuman pada gadis itu.

"Ad-din.... " terlihat Allegra berucap seraya menahan luka yang ia rasakan. Lukanya sangat dalam.

"Yah, ayah harus sembuh." Novan melihat sekelilingnya. "KENAPA PADA DIEM?! HAH!?" murka cowok itu dengan mata melotot. Namun pegangan tangan ayahnya dirasa semakin kuat, membuatnya kembali menatap Sang Ayah.

"Ay-yah... yangh.. min-ttaaa...." gelengan kepala Novan semakin kencang. Air matanya ikut jatuh semakin deras. Nadin sudah histeris. Ia tidak bisa melihat seseorang yang sudah ia anggap sebagai ayahnya itu, menahan sakit yang begitu hebat. Ia kembali teringat kejadian dimana orangtuanya megembuskan napas tepat didepan matanya.

Novan sedikit mendekatkan telinganya, sepertinya ayahnya ingin membisikkan sesuatu. Setelah mendengar satu kata dari ayahnya, raut wajah cowok itu berubah. Terlihat sangat marah. Matanya memerah dengan tatapan tajam.

Allegra melafadzkan tahlil sebelum menutup mata untuk selamanya, membuat Nadin berteriak histeris.

"AYAAAHHHHH!" Nadin kini memanggil Allegra dengan sebutan ayah.

Nadin mematung. Pun dengan Novan. Tidak bisa berkata-kata lagi. Novan menunduk sangat dalam. Sakit yang ia rasakan kali ini, benar-benar tidak terduga. Bahkan hubungannya dengan ayahnya masih sedikit renggang. Ia juga belum meminta maaf pada ayahnya.

"Kenapa takdir jahat..." lirih Nadin dengan derai air mata.

Novan yang tidak bisa melihat Nadin juga menangis, ia meninggalkan ruangan. Tapi tidak lupa menitipkan Nadin pada dokter. Terlihat kilat api kemarahan pada mata cowok itu.

NOVAN SANJAYA | FRIENDZONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang