Seorang laki-laki berjalan dengan tertatih, ia tidak akan memiliki kekuatan untuk melanjutkan langkahnya. Ia tersungkur ke tanah yang ditumbuhi rerumputan lebat. Wajahnya penuh luka lebam. Ringisannya terdengar begitu menyakitkan.
Seorang gadis kini berdiri di depannya dengan senyum. Mata gadis itu berkaca. Tangannya terulur untuk menolong laki-laki yang tersungkur itu.
Tangan cowok itu meraih uluran tangan dari gadis di depannya, berdiri dengan sekuat tenaga yang ia miliki.
Gadis itu tersenyum, "Gue cinta sama lo."
Cowok itu menatap tepat di manik mata gadis di depannya. Awalnya sebuah senyuman tipis terukir dibibirnya, namun selang beberapa detik kemudian senyumnya memudar.
Hilang.
Tergantikan dengan raut marah, sorot matanya menunjukkan emosi yang akan meledak sebentar lagi. Rahangnya mulai mengeras, tatapan matanya tajam. Ia menghempaskan tangan gadis itu dengan sangat kasar.
"Pembohong!" desis cowok itu.
"Gue beneran cinta sama lo," ucap gadis itu lagi, berharap jika pengulangan katanya itu bisa dipercaya oleh laki-laki pujaan hatinya.
Tatapan cowok itu tidak meleset sedikit pun dari manik mata gadis di depannya, "Kalau lo emang cinta sama gue..." ia melangkah maju mendekati gadis itu. Dan berteriak tepat di depan wajah gadis itu.
"KENAPA LO BUNUH BOKAP GUE?!"
Gadis itu memejamkan matanya sejenak, lalu kembali menatap mata cowok di depannya. Air matanya sudah jatuh melewati pipinya.
Tangannya berusaha meraih tangan cowok itu namun ditepis cepat, "Karena gue cinta sama lo,"
Cowok itu menggelengkan kepalanya, sangat tidak percaya pada ucapan gadis di depannya. Gadis itu sangat pandai berbohong, dan entah sekarang sudah yang ke berapa kalinya ia dibohongi oleh gadis itu.
"Gue nggak akan percaya sama gadis munafik kayak lo!" sarkasnya.
Gadis itu mengusap jejak air matanya, kini sorot matanya berubah. Tidak ada kelembutan lagi di sana.
"Lo mau tahu, kenapa gue bunuh bokap lo?" cowok itu memasang telinganya dengan benar, sangat ingin tahu apa alasan gadis munafik itu.
"KARENA DIA NGGAK RESTUIN HUBUNGAN KITA!" teriak gadis itu. Kali ini ia benar-benar meluapkan emosinya yang sejak tadi tertahan. Berusaha mati-matian untuk tidak berteriak, namun cowok di depannya itu memancing kemarahannya.
Cowok itu memandang tidak percaya, ia berdecih sinis. Bahkan jika ia bisa, ia akan meludahi wajah gadis itu. Sangat muak melihat wajah seorang pembohong.
"Apa? Karena nggak restuin? GUE SETUJU BANGET SAMA BOKAP GUE KARENA UDAH NGGAK RESTUIN HUBUNGAN KITA! DAN HARUSNYA GUE DENGERIN DIA, BIAR NGGAK DEKET SAMA LO LAGI!"
"Apa? Lo.... setuju?" gadis itu berucap sambil memundurkan langkahnya perlahan membuat cowok di depannya itu kebingungan.
"IYA, GUE SETUJU! DAN SEHARUSNYA GUE NGGAK PERNAH KETEMU SAMA LO. PEMBUNUH!"
Gadis itu tersenyum getir, kepalanya tertunduk. Tangannya beralih ke saku kanan jaket kulitnya. Meraba sesuatu dan mengeluarkannya dari saku.
Mata cowok itu terbelalak terkejut karena gadis itu menodongkan pistol ke arahnya. Apakah hidupnya akan berakhir seperti ayahnya?
"Lo setuju?" tanya gadis itu sekali lagi.
Seperti tidak takut dengan apapun, dengan sangat yakin cowok itu mengangguk. "Iya, gue setuju. Dan perasaan gue, udah hilang bersamaan dengan nyawa ayah gue yang melayang akibat ulah lo!" balasnya panjang.
Gadis itu memejamkan matanya sebentar, berusaha berpikir jernih. Ia tidak mungkin melukai orang yang ia cintai.
"Gue tanya sekali lagi, apa lo cinta sama gue?"
"Lo tuli? Gue, nggak cinta, sama lo!" tekan cowok itu dengan menunjuk ke arah gadis itu.
"Tapi gue cinta sama lo, lo harus cinta juga sama gue!"
"Mimpi!"
Tidak tahan mendengar penolakan dari cowok itu, lantas tangan gadis itu menarik pelatuk pistolnya.
Dor!
Matanya sempat terpejam ketika menembakkan peluru itu. Ketika ia membuka matanya, betapa terkejutnya ia, tembakannya tepat mengenai orang di depannya itu.
Tangannya lemas, senjata apinya jatuh tergeletak di tanah. Kakinya seketika menjadi seperti jelly, tidak kuat menahan bobot tubuhnya hingga ia terduduk lemas. Ia menatap tangannya yang telah melukai seseorang itu.
"Tangan ini...." ucapnya dengan nada yang bergetar.
"Lo udah nembak orang... Lo pembunuh, sialan!" umpatnya dengan pelan pada tangan yang ia kendalikan.
Gadis itu tidak sanggup lagi menatap kedua tangannya. Ia menyembunyikan tangannya ke belakang tubuhnya lalu berteriak.
"AAARRRRHHHHHH!"
Seseorang datang menghampirinya dengan kepalan tangan di samping tubuhnya. Gadis itu mendongak untuk melihat siapa yang berdiri di depannya itu.
"Lo?"
"Kita punya persamaan."
Alis gadis itu bertaut bingung, sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan orang di depannya itu. Keadaan saat ini tidak bisa membuatnya berpikir jernih. Ia bahkan membenci dirinya sendiri karena telah membunuh.
"Mana tangan lo yang udah membunuh itu?" tanya orang di depannya lagi dengan nada dingin. Tak urung gadis itu membawa kedua tangannya ke depan, tatapan kebencian ia berikan pada tangannya.
"Tangan ini, udah ngebunuh orang! GUE BENCI!" teriaknya, bersamaan dengan kedua tangannya yang terpotong.
Ya, terpotong!
Kedua tangan gadis itu terpotong, hanya tinggal sampai siku nya saja. Gadis itu mengerang kesakitan, darah mencuar begitu derasnya.
Ia tidak pernah menyangka bahwa orang di depannya itu akan memotong kedua tangannya. Matanya menatap orang yang kini telah tertawa miring. Dan sorot mata orang itu terdapat kepuasan.
"Kita sama-sama benci, sama tangan lo!" ungkapnya kemudian berdecih.
Orang itu berjongkok di hadapan gadis yang menangis tanpa henti, berteriak kesakitan, terus meraung karena kehilangan tangannya.
Tangan orang itu meraih dagu gadis di depannya dengan kasar, "Pembunuh kayak lo, nggak pantas hidup!" orang itu kembali menghempaskan dagu gadis itu dengan sangat kasar hingga tersungkur.
Tubuh gadis itu pun langsung telentang di atas tanah, kedua tangannya sudah tidak bisa menahan tubuhnya. Gadis itu terus meraung kesakitan. Sangat histeris dengan kondisinya saat ini.
Orang itu berdiri lalu meraba sesuatu di saku kirinya. Sebuah pisau lipat kecil, kini sudah ada ditangannya. Mengarahkan pisau itu ke arah wajah gadis itu.
"Jangan.." mohonnya dengan lirih. Suaranya nyaris hilang karena sejak tadi berteriak histeris.
"Gue bilang, kita sama. Lo pembunuh....." orang itu menggantungkan kalimatnya dan mulai mengukirkan inisial namanya di wajah gadis itu. Darah yang menguar dari pipi gadis itu mengenai wajahnya.
"Aahh, darah lo wangi." desahnya menciumi wangi darah gadis itu.
"Jangan..." lirih gadis itu lagi.
"Kalau lo bisa bunuh orang, gue juga bisa!"
"Aargghhh!"
Permulaan,
Next?
KAMU SEDANG MEMBACA
NOVAN SANJAYA | FRIENDZONE
Azione"Asal lo bahagia, gue juga bahagia, Van." "Maaf karena gue nggak profesional sebagai teman." __________________________________________________ "Aku cinta sama kamu, Nay." "Kenapa takdir jahat?" __________________________________________________ "Ad...