Bab 6

851 25 0
                                    


***

Tanpa mandi dan sarapan, Abi dan Rea akhirnya tiba dikediaman Ratu. Rea begitu semangat turun dari motor dan berlari mengetuk pintu rumah bergaya kuno itu.

Tok.. tok.. tok..

"Nek? Nenek?" Panggil Rea.

Tidak ada suara sahutan dari dalam. Tetapi Abi maupun Rea bisa mendengar suara gemerincing kunci.

Ceklek..

Kedatangan Abi dan Rea di suguhi tatapan lelah Ratu. Wanita paruh baya itu tidak banyak bicara, hanya mengedikkan kepalanya ke atas. Arah kamar Abra. Kemudian berlalu meninggalkan keduanya.

Rea menatap Abi penuh tanya. Tetapi Abi pun menggeleng bingung. Mereka sama-sama tidak tahu apa yang terjadi.

"Kita ke atas aja, liat Abra." Ajak Abi.

Rumah Ratu hening seperti biasanya. Sejak 2 tahun lalu, suasana rumah ini memang terlampau dingin. Bahkan rumah yang ditempati Abi dan Rea saja jauh lebih hangat dari pada ini.

"Dikunci."

Rea tersentak kaget mendengar ucapan Abi. "Apanya?"

"Kamar Abra, dikunci." Ulang Abi. "Abra?!"

Rea ikut mendekati daun pintu. "Dek, buka pintunya. Ini Kakak sama Mbak diluar."

"Kakak? Mbak Rea?" Terdengar cicitan mungil Abra dari dalam ruangan.

"Iya Bra, buka pintunya. Kamu mau ikut kakak nggak?" Sahut Abi.

"IKUTT!!"

Rea tertawa kecil mendengar suara Abra. Bocah itu pasti panik dan takut ditinggal.

"Ayo! Abra mau ikut kakak aja! Abra nggak mau disini! Abra bosen main sendiri!" Pekiknya begitu keluar dari kamar.

Rea tersenyum hangat melihat perkembangan bocah yang sebentar lagi akan memasuki sekolah dasar itu. Tubuhnya bersih dan berisi, nenek sungguh memenuhi gizinya dengan baik.

Dalam diam, Rea berterimakasih dan bersyukur pada tuhan. Telah mengirimkan orang sebaik Ratu, yang mampu mengurusi Abra dengan baik. Sebab jika itu adalah Rea, ia tidak yakin bisa membesarkan Abra sebaik ini.

"Kenapa pintunya dikunci?" Abi mengabaikan celotehan Abra. Ia masih ingin tahu alasan bocah itu mengunci kamarnya.

"Biar nenek nggak bisa masuk." Jawabnya polos.

"Kamu buat nenek marah?"

Abra tidak menjawab. Ia sedikit ngeri melihat Abi melotot tajam padanya. Kakaknya sangat menyeramkan kalau marah, Abra takut.

"Kakak kan udah bilang, jangan nakal. Kamu nggak kasian sama nenek? Nenek capek ngurusin kamu sendirian!"

"Abi, sudah-sudah." Rea mengangkat Abra dalam gendongannya. Bobot bocah itu sudah lumayan berat, Rea bahkan harus mengeluarkan banyak tenaganya. "Jangan keras-keras marahnya, nanti aja dibilangin pelan-pelan. Mendingan kamu izin sama nenek, kita bawa Abra keluar hari ini."

Rea tahu Abi tidak setuju dengannya, tapi berkata keras pada anak kecil bukan hal yang baik. Rea hidup dalam didikan keras, Abi pun juga. Tapi Rea tidak ingin Abra juga merasakannya. "Aku tunggu di bawah, ya?"

Abi berdecak kesal sambil berlalu. Namun matanya sempat melotot pada Abra sebelum meninggalkan bocah itu, seolah mengatakan bahwa urusan mereka belum selesai.

***

"Kamu jadi pergi, nanti?" Tanya Rea pada Abi. Mereka tengah duduk santai dikursi taman, mengawasi Abra yang berlarian bersama anak-anak lain mengejar capung.

PARTNER IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang