Bab 13

561 15 1
                                    

Sudah sejak pagi, Rea mengetuk pintu kamar Abi. Tapi sampai ia hendak melaju ke tempat kerja pun, bocah itu tidak juga membuka pintu kamarnya. Mentang-mentang karena sudah tidak ke sekolah lagi, jadi bangun semaunya atau karena bocah itu benar-benar menghindari Rea. Rea juga tidak tahu.

Bahkan sejak semalam saat ia pulang, Abi sudah mengurung diri di kamarnya.

"Bi, Kakak berangkat kerja ya?"

"Sarapannya udah kakak siapin di meja, jangan siang-siang bangunnya!" Rasanya sangat mengganjal sekali sebenarnya berangkat tanpa melihat keadaan bocah itu. Tapi biarlah, Rea harus segera berangkat ke kantor sekarang.

Setelah Rea benar-benar telah pergi meninggalkan rumah, Abi membuka selimut yang sejak tadi membungkus tubuhnya. Ia sudah bangun, tapi tak ingin keluar dari ranjang.

Ia beranjak malas dari tempat tidur menuju kamar mandi.

Rumah kembali sepi. Dan Abi masih tetap kesal.

Mendiamkan Rea tidak berguna sama sekali. Sejak semalam hingga pagi ini pun, wanita itu sama sekali tidak menjelaskan apapun padanya. Membuat Abi tambah kesal setengah mampus.

Setelah menyelesaikan urusan di kamar mandi, Abi melangkah ke dapur.

Segelas kopi hangat dan nasi goreng sosis telah terhidang di meja. Menghirup aromanya dari jauh saja, cacing di perut Abi langsung berdemo ria. Ah, masakan Rea selalu membuat rasa laparnya melanda.

Tapi saat kejadian semalam kembali melintas, rasa laparnya berubah hambar. Sungguh hidupnya miris sekali.

Sudah semena-mena ia dengan Nando, tapi dengan mata kepalanya sendiri ibu sang pujaan hati tengah menjodohkqn perempuan tercintanya dengan Abangnya Nando. Kurang sial apalagi Abi? Sebab mau ditimbang bagian mananya pun, Abi tau Randu bukanlah saingannya. Abi jelas sudah kalah start, walaupun Abi yang berhasil buka segel.

10.30 Wib.
[Aku berangkat sama Bima. Tiket kereta cuma sisa dua. Sorry, nggak jadi ajak kamu.]

10.50 Wib.
[Aku udah jalan sekarang].

Mata Rea melotot kaget melihat isi pesan Abi. Demi apa bocah itu meninggalkannya?

Rea geram sekali ingin menyusul bocah itu, tetapi saat ini ia sedang berada dikantor. Jelas-jelas kemarin Abi bilang sudah memesan tiket dengan jadwal pukul 4 sore. Kenapa tiba-tiba memajukan jadwal dan meninggalkannya? Memangnya bisa seperti itu?

"Demi tuhan!" Rea menggeram kesal hingga tanpa sadar mengetukkan kepalanya ke meja kerja.

Fitri yang melihat itu, segera berlari demi menahan kening Rea yang hendak di benturkan ke maja untuk kesekian kalinya. "Heh?! Kena sarap apa gimana sih? Kasian mejanya di jedukin begitu!" Tegur Fitri geram.

Lagi pula temannya itu aneh sekali. Kalo kesal kok sukanya membenturkan kepala ke sembarang benda.

"Fit, gedeg banget aku! Sumpah deh, kalau ngatasin bocil marah itu gimana sih?" Erang Rea frustasi.

"Bocil? Siapa yang marah?"

Rea tidak menjawab, ia hanya menatap pasrah ke arah Fitri. Berharap temannya itu memiliki ilmu cenayang.

Fitri menggaruk sebelah alisnya yang tak gatal. "Ooh, si Abi?"

"Iyaa Fit! Huuuhh!"

"Dia marahnya karena apa dulu, coba jelasin deh, pelan-pelan.."

Rea menatap Fitri dengan raut nelangsa. "Tadi malem Mama ngajak makan malam, terus Abi nganterin aku ke restoran tempat ketemu sama Mama. Nah, begitu sampe sana, Abi mampir nyalamin Mama. Tapi disana Mama nggak cuma sama Fira, malah ada Randu, Bokap dan Kakaknya juga!"

PARTNER IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang