Bab 18

383 20 1
                                    


***

Hai, sori banget lamaaa nggak updet. Aku lagi sibuk banget. Alhamdulilah sudah mulai longgar lagi, seneng masih ada yang nunggui  cerita ini. Semoga kedepannya bisa kembali aktif updet lagi.

Maaf kalau ada type, belum sempat revisi.

Enjoy!


***

"Bi, berhenti sebentar!"

Laju motor Abi yang semula cukup cepat perlahan memelan. Begitu menemukan tempat yang cukup sepi, Abi baru  menghentikan laju motornya.

Menoleh ke belakang, ia melirik ke arah Rea penasaran. Wanita itu tengah menjawab panggilan telepon, dan itu sangat mengganggu. Bukan, bukan mengganggu perjalanan mereka, melainkan mengganggu ketenangan Abi yang setipis triplek sejak bertemu dengan Randu pagi tadi. Raut Rea begitu kaku sehingga sulit dibaca, namun dari sorot matanya melas bukan hal baik yang gadis itu terima.

"Mm.. Hm, Saya kesana sekarang."

"Kenapa Re?" Tanya Abi disela kebisingan jalan. Lampu-lampu kota menyorot indah wajah cantik Rea yang terlihat lebih beku dari biasanya. Ada apa dengan Rea?

"Kita ke rumah nenek sekarang, Abra nyariin." Rea mengelak. Abi tahu perempuan itu tengah menyembunyikan sesuatu dibalik binar bening matanya.

Akhirnya Abi menurut tanpa banyak tanya. Padahal seingatnya ini bukan hari sabtu ataupun minggu, tumben sekali Abra mencari mereka.

Perjalanan selanjutnya bertahan dengan keheningan sebagai tema. Bahkan hingga memasuki gang perumahan nenek pun Rea yang biasa selalu membuka obrolan tentang Abra masih juga bisu. Dan ketika motornya tiba dipelataran nenek, mata Abi kembali menyipit mendapati keramaian tak biasa disana.

Tunggu, ada apa sebenarnya?

Jantung Abi terasa jumpalitan tak karuan. Begitu Rea turun dari boncengan, Abi juga langsung bergegas menstandar montor dan melenggakan diri membelah kerumunan. Sayup-sayup suara tangis Abra sampai ditelinganya, mendengung mengerikan mengoyak kenangan kelam 4 tahun lalu.

"A-," Abi bahkan tidak sempat mengucapkan kata apapun ketika Pak Ilyas, salah satu tetangga neneknya menariknya dalam pelukan. Seraya membisikkan kalimat-kalimat penguat dan penenang. Sekelebat mata ia juga sempat mendapati  Rea yang berlari mengambil Abra dari gendongan tetangga yang menjabat sebagai guru Abra disekolah.

"Kuat ya nak, nenek sudah tenang sekarang."

"Pak Ilyas.. Nenek?"

Pak tua itu mengangguk. Menepuk pundak Abi seraya tersenyum pedih. "Sepertinya nenekmu terkena serangan jantung, Abra bilang tiba-tiba nenekmu terjatuh lalu pingsan. Setelah kita periksa, ternyata Bu Ratu sudah tiada. Bu bidan juga sudah memeriksanya tadi."

***

"Mbak.. nenek nanti nggak pulang lagi ya? Tinggalnya sekarang dikuburan? Terus kalau Abra kangen gima-hiks..gimana?"

"Sayang, ssttt, jangan nangis begitu dong, kan tadi sudah janji kalau ikut kesini nggak nangis lagi. Sayang, dengar, nenek istirahat disana. Kalau adek nangis nanti nenek sedih kan?"

"Tapi Abra sedih mbak.."

"Iya, nanti nangisnya dirumah ya, sambil peluk mbak. Biar manti mbak buatin es cokelat, kalau disini kan nggak bisa buat es cokelat?"

"Hehehe, Abra mau es cokelat mbak."

Abra mengalihkan tatapannya dari dua orang tercintanya itu. Keluarga besar dan para tetangga masih ada disana, sehingga Abi harus terus menahan diri untuk membuang air matanya.

Orang bilang, langit tak selamanya gelap. Akan ada hari esok seberat apapun hari ini. Selagi bisa menghadapi masa sekarang, hari esok pasti bisa dilalui juga. Tapi kenapa rasanya Abi tidak juga mendapati hari yang ringan?

Abi belum siap. Menjadi dewasa dan mandiri begitu berat. Menjadi kuat tanpa penyokong dari ayah saja ia susah payah, sekarang nenek satu-satunya yang ia punya juga pergi.

Abi dan Abra sendiri lagi. Tidak ada lagi keluarga dekat yang bisa ia jadikan rumah. Mereka tidak memiliki apapun kecuali Rea yang juga terancam akan direbut paksa dari mereka.

Sial, mata Abi terasa lebih panas sekarang.

"Nangis aja kalau mau nangis, nggak usah ditahan-tahan gitu." Ucap Varo. Lebih lembut dari biasanya. Mungkin karena tengah iba, sehingga lelaki itu tidak menatap Abi bak musuh besarnya lagi.

"Hmm, gue oke kak." Tidak akan Abi melakukan itu. Abra sudah sedih, Rea pun sama. Jika Abi ikut memperlihatkan kesedihan, siapa yang akan menghibur dan menjaga keduanya nanti.

"Gue juga sedih, tapi gue tahu lo pasti lebih sedih. Lo sama Abra kan yang paling deket sama nenek. Cucu paling ganteng, kesayangan." Gurau Varo. "Gue titip mbak gue ya, selagi dia masih belum mau balik ke rumah."

"Iya.."

Satu persatu pelayat mulai meninggalkan pemakaman. Begitupun Abi, Rea dan Abra. Ketiganya mengendari satu motor dengan Abra tetap berada dalam gendongan Rea. Bocah itu tidak mau turun sama sekali, sehingga beberapa kali Abi menggantikan Rea untuk menggendongnya.

"Mbak, Abra nggak mau pulang. Abra mau sama kakak sama mbak aja. Abra takut dirumah sendiri.." Bisik Abra ditelinga Rea. Dalam diam, Rea meneteskan airmatanya.

"Iya sayang, kita sekarang tinggal sama-sama. Abra, kakak dan mbak. Kita akan sama-sama terus sayang." Jawab Rea parau. Ia dekap Abra erat-erat. Mencoba mengusir rasa sakit nan rasa bersalah yang tiba-tiba hadir menyusupi hatinya.

Nenek.. satu-satunya keluarga yang mendukung mereka telah pergi, tanpa tahu apa yang telah cucu-cucunya lakukan telah berada dijalan yang salah, dan melampaui batas.

Ya tuhan...

"Mbak janji kan? Kita sama-sama terus? Nggak akan tinggalin Abra?"

"Janji. Mbak janji sayang."

Abi terus menguping pembicaraan itu hingga tiba ditempat tujuan.

Bukan kembali ke rumah, ia membawa Abra dan Rea ke taman yang luar. Berharap angin segar disana mampu menyegarkan hati mereka. Memberi sedikit medamaian pada insan-insan yang tengah berduka.

***

PARTNER IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang