Bab 22

301 14 5
                                    


***

"Mama sudah kasih waktu banyak buat kamu. Tapi rupanya kamu makin tidak tahu diri ya. Jangan salahkan Mama kalau bajingan itu benar-benar mati. Oh, satu lagi, cepat datang kerumah atau adik kesayangan kamu juga akan bernasib sama seperti Abi."

Rea tidak tahu harus bagaimana menghadapi malam ini. Jangankan untuk menolong Abi yang tengah terkapar, untuk membalas ucapan mamanya ditelepon sesaat setelah Abi roboh, Rea tidak punya waktu.

Dua orang tiba-tiba datang lalu menyeretnya pergi, sementara satu orang yang telah menikam Abi masih tertinggal disana dengan pisau tajam ditangannya.

Tubuh Rea mati rasa. Dadanya begitu sakit. Rea seolah kehilangan pijakannya dibumi ini.

Abinya jatuh. Berdarah. Abra tertinggal dikamar sendirian. Tidak ada orang lain dirumah. Siapa yang akan menolong Abi? Bagaimana jika Abi mati?

Mobil yang ditumpangi Rea berhenti. Tepat didepan sebuah rumah kosong minim cahaya, selain itu hanya ada kegegalapan disana. Rea tidak melihat kearah mana orang-orang itu telah membawanya.

Satu orang yang sejak tadi bertugas menjaganya dikursi belakang, membuka ikatan tangan dan lakban yang menutup mulut Rea. Barulah Rea ditarik turun.

Melihat ada peluang untuk lari, Rea pun memberontak hebat.

"Haaaaaa!!!!"

"Aaarrggg!"

"Lepass!"

"Lepas!"

"Lepaaaaaaaass!!"

"Nggak!!!!!"

Plak!

"Diam!"

"Mama?" Mata Rea melotot begitu melihat Risa keluar dari rumah kosong yang didatanginya.

"Lepaskan dia, kalian bisa pergi." Titah Risa pada dua laki-laki bertubuh kekar yang berhasil menyeret Rea padanya.

"Mama yang lakukan itu ke Abi?"

"Kamu sudah keterlaluan, Mama nggak bisa diam lagi. Gun sudah tahu kegilaan kalian rupanya.."

"Ma, Om Gun-,.."

"Ssst, kamu nggak perlu bicara apapun. Pulang kerumah mama sekarang dan jangan temui Gun apapun yang terjadi."

"Nggak! Aku mau ke Abi, Abi belum di tolong Ma!"

"Nggak bisa. Sekali kamu mencoba pergi dari mama, Abra juga akan habis ditangan Mama." Ancam Risa.

Mata Rea berapi-api, tidak menyangka wanita yang melahirkannya bisa berkata  seperti itu. "Mama monster?" Tanya Rea sinis.

Risa diam. Membalas tatapan Rea sama sinisnya.

Rea tidak bisa tetap disana. Jika terus bertahan, bisa-bisa ia dan Risa malah akan perang besar. "Aku pergi!" Rea berbalik membelakangi Risa, menghapus air mata sebelum kakinya melangkah pergi.

Sayangnya Risa memang monster. Baru tiga langkah Rea melaju, teriakan Risa menyambar dan menebas habis hatinya.

"Kamu pikir Mama bercanda? Abra juga akan menyusul Abi sejengkal saja kamu keluar dari gerbang!"

"Aku nggak peduli! Aku akan mati bersama mereka kalau mereka mati! Mama nggak berhak ngatur hidup aku! Mama nggak berhak!"

Plak!

Sekali lagi tamparan bergitu keras menghantam pipi Rea. Bahkan kali ini bibir bagian dalamnya juga tidak mampu menahan tekanan sehingga darah pun mengucur keluar. Bibir itu Pecah. Harusnya pedih sekali rasanya, andai Rea sedang tidak dalam keadaan ini.

"Ma..."Rea berucap lirih. Lutut mungilnya  menghantam tanah pelan, penuh penghayatan yang menyertai tatapan penuh permohonannya kepada Risa. "Aku nggak bisa, Ma. Aku nggak bisa.. Tolong, jangan dipaksa."

Isakan yang selama ini tak pernah keluar untuk Risa, akhirnya tak tertampung lagi. Rea kalah. "Rea sudah coba, Ma. Tapi Rea tetap nggak bisa iklas. Hati Rea sakit setiap kali Rea sama mama. Rea selalu ingat Ayah.. Rea ingat masa lalu ma.. Dan setiap Rea ingat ayah, Rea jadi benci lagi sama Mama.."

"Cuma mereka yang bisa buat Rea merasa cukup. Cuma mereka yang bisa menghentikan kebencian Rea. Cuma mereka yang bisa buat.. dunia Rea jadi lebih berarti. Cuma dengan lihat mereka, Rea iklas kehilangan Ayah.."

Risa membuang tatapannya dari sang putri. Lagi-lagi, putri sulungnya menghancurkan hatinya. Lagi-lagi, putri sulungnya mengingatkannya akan kesalahannya. Hati Risa sakit, tapi ia tidak akan mengalah apalagi menyerah. Rea putrinya, miliknya. Tidak boleh menentang apapun perintahnya. "Mama nggak mau tahu, kamu nggak akan berurusan apapun dengan keluarga Ayahmu! Ingat itu!"

Rea tersedak tangis mendengar jawaban Risa. Sungguh, mamanya masih manusia itu. Manusia keras kepala dan egois. Manusia berhati namun tak bisa menggunakan hatinya dengan baik. Yang sulit dipercaya, Rea lahir dari rahim wanita itu.

"Mama nggak perlu tahu rasanya nggak punya ayah. Mama nggak perlu tahu rasanya dibully disekolah, disiksa karena mereka tahu aku nggak punya ayah yang bisa tolongin aku. Mama nggak perlu tahu rasanya kulit biru-biru setiap hari, sakit dan memar dimana-mana tapi nggak punya tempat mengadu. Mama nggak perlu tahu rasanya dilecehkan, tapi nggak bisa balas mereka karena aku nggak punya kekuatan! Mama juga nggak perlu tahu, rasanya punya ibu yang nggak pernah pedulikan anaknya, nggak pernah tanya keadaan anaknya dan bahkan nggak tahu apa aja yang terjadi sama anaknya. Nggak, mama nggak perlu tahu! Yang perlu mama tahu, anakku nggak akan bernasib sama seperti aku. Anakku, punya ayah. Anakku, punya laki-laki yang akan menjaga dan membelanya sampai titik darah penghabisan. Dan kalau Ayahnya mati malam ini, Mama juga akan lihat dia mati bersama ibunya!"

"Apa maksud kamu, Rea?"

***

Ruangan putih terang sepi itu berubah ramai setelah kedatangan beberapa orang berseragam suster. Lalu seorang dokter menyusul masuk, memeriksa seorang yang terbaring lemah diatas ranjang pasien.

Gurat wajah sang dokter begitu serius. Begitu pula dengan para suster. Masing-masing bekerja cekatan mengusahakan sebaik-baiknya, supaya jiwa itu tetap tinggal.

Meski setelah perjuangan mereka selesai, jiwa itu juga selesai dengan raganya.

Dia tidak ingin tinggal, atau memang dia tidak bisa tinggal, sebab waktunya berada didunia sudah habis.

Setiap perjalanan selalu memiliki akhir, dan mungkin akhir inilah miliknya. Helaan nafas panjang mengakhiri perjuangan para tenaga medis. Sang dokter menunduk, melihat jam yang melingkar ditangan kirinya.

"Waktu kematian, pukul 20.22 WIB." Ucap sang Dokter.

Ketegangan yang tadi sempat merasuk, berangsur-angsur menghilang. Diganti dengan raut berbeda-beda satu dengan lainnya. Namun masih dalam satu tema, Duka.

Dokter membuka pintu ruangan dan melangkah keluar. Menghampiri wanita paruh baya yang menunggu diluar ruangan dengan wajah sembab penuh air mata.

"Mohon maaf bu, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun takdir tuhan berkata lain. Ibu dan keluarga, semoga diberi ketabahan oleh Yang Maha kuasa. Saya permisi.."

Wanita paruh baya itu melangkah tertatih memasuki ruangan yang telah ditinggalkan para petugas medis. Selimut telah menutup hingga kepala buah hatinya. Oh.. buah hatinya..

"Sayang.. Kamu meninggalkan Mama nak? Kamu tega meninggalkan Mamaa?" Wanita paruh baya itu meringkuk, meraung memanggil nama anaknya tercinta. Mengguncang tubuh yang telah terbujur kaku dengan sedemikian rupa, berharap ini hanyalah bagian dari mimpinya semata.

"Nggak! Jangan pergi nak! Jangan tinggalkan Mama sayang.. bangun.. bangun.. banguuunn!" Teriaknya frustasi. Berkali kali ia juga menepuk dan mencium pipi buah hatinya, namun responnya tetap sama.

Pengabaian.

Anaknya tidak lagi membuka mata.

Anaknya tidur dalam waktu yang teramat panjang.

Anaknya pergi.

"Aaarrrgghhh.."

***

PARTNER IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang