Bab 11

711 26 4
                                    


***

"Bukan, Re. Aku lagi berusaha gimana caranya ngadepin Kak Varo kalau kalau aku rebut Kakaknya seumur hidup."

Rea mendengus kecil mendengar gurauan tak masuk akal itu. "Bahasa kamu ketinggian deh, Bi."

"Ketinggian gimana?"

"Kayak lagi gombalin cewek gitu, ya kali? Kakak juga kamu gituin?"

"Maksudnya gimana sih, Re?" Abi benar-benar tidak paham dengan ucapan Rea. "Emangnya salah ya kalau aku gombalin kamu?"

"Bi,  kamu kan juga adikku. Sama kayak Varo, Abra? Nggak perlu rebut juga aku udah jadi kakak kamu!"

Abi mengumpat dalam hati. Rea ini gimana sih? Sengaja pura-pura polos? Atau mau menghindari pembicaraan? Atau mau memancing Abi saja?

"Nggak gitu maksud aku, kamu tahu!"

"Gitu kok!" Kukuh Rea.

"Ck, Serius dong Rea!"

"Aku juga serius!"

Abi kira Rea akan pergi menghindar setelah mengatakan itu. Namun diluar perkiraan, perempuan itu melangkah kearahnya dan berdiri tepat didepan Abi.

Cup..

"Aku kaget sih, kamu beneran udah gede, Bi." Bisiknya sembari menatap Abi dengan binar menggoda. Ah, sebenarnya tidak bisa dibilang Rea sedang menggoda. Memang Rea diam saja bisa membuat Abi tergoda, apalagi kalau tengah senyum mendamba begitu?

"Ngga bisa, Lia. Aku nggak mau pacaran, pacaran itu dosa!"  Abi masih ingat betul  bahwa kalimat itu selalu ia ucapkan kepada Lia. Dulu.

Setiap kali gadis itu mulai menuntut, setiap gadis itu mulai khawatir, setiap gadis itu tahu ada perempuan lain yang mendekati Abi. Dan kalimat penolakan Abi selalu sama, yaitu tidak mau tambah dosa.

Lama-lama Lia paham itu. Apalagi dulu Lia juga pernah mengajak Abi melakukan yang tidak-tidak saking sukanya dengan Abi. Mereka hampir saja kelabasan, andai Abi tidak segera sadar saat itu. Pergaulan mereka terlalu bebas, di usianya yang masih kecil itu, teman-teman Abi sudah mengenalkan bagaimana perilaku anak nakal. Bisa melakukan apapun sesukanya, dan di takuti banyak anak lain.

Kemudian setelah semua kenakalan yang Abi lewati, takdir pahit menamparnya.

Ayahnya sakit, tak lama kemudian meninggal. Lalu Ibunya terguncang. Wanita yang selalu hidup bergantung dengan Ayahnya terguncang hebat kala itu. Hingga beberapa bulan kemudian, ikut menyusul sang ayah. Meninggalkan Abra dan Abi yang sebenarnya lebih terguncang.

Setelah kepergian kedua orang tuanya, Abi menjauhi semua orang. Termasuk Lia. Abi tidak ingin berurusan dengan saksi-saksi kenakalannya dulu lagi. Rasa sukanya pada Lia pun mulai memudar, akibat kesibukan baru dan hal-hal bermanfaat lain yang terus ia geluti hingga sekarang. Abi takut tidak bisa menjadi apa-apa jika terus nakal.

Tetapi ternyata tidak nakal pun tidak membuat hidup Abi aman. Tak lama setelah kepergian Ayahnya, Abi mengalami banyak perundungan. Ia di anggap lemah karena Ayah yang selama ini selalu mendukungnya sudah tiada. Abi tidak bisa semena-mena seperti dulu lagi maka mereka bisa sepuasnya mengganggu Abi.

Jiwa keras Abi perlahan pun terbentuk. Mau tak mau, ia harus menguasai ilmu bela diri. Belajar sampai mampus, sebab ayahnya yang jagoan itu tak bisa lagi melindunginya. Baiklah, bertempur ternyata tetap menjadi kebiasaan para lelaki. Abi bisa berhenti berbuat nakal, tetapi tidak bisa berhenti berkelahi. Berkelahi dengan musuh, atau untuk bertanding demi mendapatkan banyak penghargaan.

Sudah seimbang bukan kehidupan Abi?

Betul. Selama ini tidak ada masalah berarti yang menghampiri Abi selain Nando, bocah tengik yang iri padanya. Padahal Abi tahu Nando memiliki kaluarga Kaya Raya, Ayah seorang pengusaha dan Kakak yang keren. Nasib Nando saja yang terlampau buruk kalau masih terus merasa kalah dengan Abi.

Tapi biarlah, tentu saja Nando bukan masalah besar bagi Abi. Karena masalah besar Abi sekarang ada dihadapannya saat ini. Tengah menatapnya dengan tatapan sayu yang memabukkan.

Kecantikannya, kelembutannya, keanggunannya, membawa masalah besar yang Abi suka. Mencipta dosa yang entah bagaimana nanti Abi bisa menebusnya. Abi   bahkan siap melakukan apa saja asal bisa melakukan kesalahan yang sialnya malah terasa benar itu,  bersama Rea. Hingga dengan tak tahu diri, Abi menunggu hari ini tiba. Menunggu Rea masuk kembali ke dalam kamarnya. Untuk kesekian kalinya. Bahkan otak busuk Abi sudah berencana, sekalipun tak mau, ia akan membuat Rea menjadi mau. Seperti malam-malam sebelumnya.

Abi telah berusaha banyak untuk hari ini. Dan Abi juga tidak peduli jika setelah ini ia harus beribu kali lebih berusaha untuk Rea. Akan ia kejar tempat itu, dimana ia bisa berdiri sejajar dengan Rea.

Perempuan yang sangat dicintai oleh ayahnya ini, luar biasa sulit untuk digapai.  Namun Abi bersumpah, akan membuatnya semakin sulit hingga hanya Abi yang bisa menggapainya.

Cup..

Kecupan di pipi kiri Rea sebagai balasan kecupan di pipi yang didapat Abi.

"Lunas ya, Re." Bisik Abi lembut. Membalas tatapan sayu penuh damba Rea padanya.

Rea yang berada dalam pelukan Abi berusaha menahan senyumnya. "Iya. Tau nggak sih, kamu keren. Aku sih udah tebak, kamu pasti bisa jadi juara. Tapi tetap kaget pas dengar langsung." Ungkap Rea dengan tatapan kagum.

Siang tadi, Ratu juga menghubungi Rea dengan nada riang gembira. Bercerita bahwa Abi berhasil lulus dengan nilai terbaik dan membawa segudang prestasi dari bidang olah raga. Neneknya begitu bangga, sangat bangga. Meski keturunan Sanoto mayoritas memiliki otak yang cerdas, Ratu tetap begitu bangga Abi bisa menjadi salah satunya. Abi si anak malang ternyata begitu hebat.

Abi mengangkat Rea dengan gemas dalam gendongannya. Membuat Rea menempel padanya seperti koala. "Sekarang aku minta hadiah dong!" Bisik Abi semangat. Ia tempelkan hidung bangirnya pada ujung hidung Rea. Menggesek pelan sambil menunggu jawaban sang empu.

"Ulang tahun kamu masih lama, tuh?" Seingat Rea, Abi lahir di bulan Oktober. Dan sekarang masih bulan Juni. "Masih 3 bulan lagi kan?"

"Bukan hadiah ulang tahun, Re."

"Lalu?"

Abi tatap mata itu dalam-dalam. Mencoba menyalurkan maksud keinginannya lewat mata. Dan Abi yakin, Rea lebih dari mampu menangkap maksud Abi.

Bagaimana pipi putih mulus itu bersemu merah, matanya berkedip polos penuh rasa  penasaran kepada Abi.

Abi membawa Rea menuju ranjangnya. Merebahkan wanita itu dengan Abi mengukung di atasnya.

Rea membuka mulutnya hendak bicara, namun bibir Abi telah lebih dulu membungkamnya. Menyalurkan gelenyar aneh bersama saliva keduanya yang juga tertukar.

Abi menyukai kelemahan Rea. Abi suka melihat penyerahan Rea padanya. Abi mendamba Rea yang sangat menerimanya.

Berkali-kali Abi mengendus leher Rea setelah membuat wanita itu kehabisan nafas. Tangannya yang entah sejak kapan menjadi terampil mengusap kulit pinggang dan perut Rea. Begitu halus nan hangat. Membuat Rasa penasaran Abi semakin meluap, hingga kini dengan berani menggapai dua gundukan besar milik Rea.

Besar.

Kencang.

Hangat.

Mendebarkan.

Sreett!!

"Abi?!"

Rea melotot kaget menyadari kaosnya telah  raib dari tubuh. Ia bahkan tertarik hingga duduk menghadap Abi.

"Abiii...!" Rengek Rea frustasi. Rea tidak pakai bra, dan sekarang Abi menahan tangannya saat ingin menutupi dadanya yang tertampang tanpa penghalang. Hanya helai-helai rambutnya yang menjadi sedikit penutup namun malah menambah kesan seksi di mata Abi.

Luar biasa!

***

PARTNER IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang