Bab 19

417 20 1
                                    


***

Rea menatap sekeliling taman dengan raut bingung. Mereka masih mengenakan pakaian serba hitam, bahkan jejak sembab masih menetap diwajah Rea. Rea yakin, orang-orang disekitar mereka tengah menatapnya dengan aneh sekarang. "Bi, kok kita disini? Orang-orang di rumah kalau cari kita gimana?"

Abi tidak menjawab ataupun merespon Rea. Begitu Abra turun dari motor, ia meminta Abra untuk membeli es krim di tepi jalan membuat bocah itu semringah. "Duduk dulu yuk? Sambil nunggu Abra." Ajaknya pada Rea. Pun tanpa menunggu persetujuan Rea, ia menggapit jemari perempuan itu menuju salah satu bangku di bawah pohon besar.

"Bi, Abra?"

"Nggak papa. Cuma beli es krim, kelihatan kok dari sini. Dia juga bisa melihat kita." Jawab Abi tenang. "Nggak papa kan, kita nggak pulang dulu? Aku belum siap menghadapi mereka lagi."

Mereka yang dimaksud Abi adalah keluarga besar ayahnya. Yang tentu saja saat ini masih berada di rumah Ratu. Apalagi Sofia juga ada disana, bersama Safira, Varo dan tunangannya.

Abi belum ingin menghadapi mereka semua, Abi belum ingin ditanya apapun oleh mereka, tidak juga ingin dikasihani seperti 4 tahun lalu. Tidak, nanti dulu. "Nggak masalah kan, aku menghindar dulu0? Sorry ya, kalau aku  lemah."

"Kenapa gitu sih ngomongnya? Kamu nggak salah Bi!" Tegas Rea. "Kamu manusia, kita manusia, manusia nggak ada yang sempurna. Kalau sedih, ya bersedih. Kamu nggak perlu memaksakan diri menjadi kuat."

"Aku takut, Re. Tiba-tiba juga, aku khawatir dan nggak percaya diri. Kali ini berat banget Re, rasanya. Cuma nenek orang tua tempat aku mengadu, dan sekarang dia juga pergi. Aku bahkan nggak punya apapun lagi selain kamu, Abra dan ketakutanku."

Rea mengalihkan wajahnya demi menghalau air mata, meski hasilnya sia-sia. Pipinya tetap saja kembali basah, padahal jejak lembab disana belum begitu lama hilangnya.

"Kamu takut apa?" Rea kembali menatap Abi penuh keyakinan. Setelah di hapusnya air mata yang sempat jatuh, tidak akan ia biarkan dirinya larut dalam tangis dihadapan Abi. "Bukannya selama ini kita udah berusaha kan? Kita bisa lewati ini berdua, bedanya sekarang bertambah Abra. Hanya itu kan? Lalu apa masalahnya?"

"Justru itu, Re."

"Justru itu kenapa? Coba jelasin, supaya aku ngerti."

Tidak. Kamu tidak akan mengerti. Kekeh Abi dalam hati. Kamu nggak tau rasanya nggak memiliki apapun saat kamu ingin mempertahankan orang yang kamu sayangi untuk tetap berada disisi kamu.

"Kita pindah aja yuk, Re? Kita pergi dari sini, kita mulai hidup baru bertiga aja, sama Abra."

Rea tersenyum lirih mendengarnya. Meski rasanya juga sakit, melihat laki-laki kesayangannya berada dalam keputusasaan seperti ini.

Betapa Rea sadar bahwa Abi belum sedewasa itu, Abi hanyalah sosok kecil yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Beberapa hal pun mudah sekali menyulitkannya, menggerogoti mentalnya, membuatnya bimbang dengan beberapa pilihan, namun Rea tahu Abi pasti akan melakukan yang terbaik. Abi telah membuktikan itu untuknya.

"Abi, dengar! Aku, sayang banget sama kamu. Kamu tahu kan? Apapun yang terjadi, aku akan selalu ada disamping kamu. Jadi, hapus semua ketakutan kamu itu. Hey, ada Rea disini. Kamu nggak sendiri sayang, kita berdua."

"Tapi, Re.."

"Aku ngerti sayang, aku paham. Kalau kamu mau kita pindah, ayo! Kita pergi sama-sama. Tapi yang harus kamu ingat, dimana pun itu, aku akan selalu ada buat kamu." Bisik Rea lembut. Ia tangkupkan kedua telapak tangannya di pipi Abi. Memastikan lelaki itu tetap melihat ke arahnya dengan baik. "Kita hadapi sama-sama sayang. Jangan takut dengan mereka, selama ini mereka nggak ada, jauh, maka setelah ini akan tetap begitu. Mereka nggak memiliki hak yang berpotensi untuk memisahkan kita. Kalau kamu takut dengan Mama, itu biar menjadi urusanku seperti biasanya. Bukannya selama ini kita bisa melaluinya dengan baik kan?"

"Kamu janji, nggak akan tinggalin aku? Nggak akan pergi dariku, Re?"

"Ya, aku janji."

"Walaupun mereka semua menentang kita?"

"Iya."

Sulit dijelaskan namun rupanya Rea bisa menangkap maksud Abi dengan baik. Wanita ini benar-benar peka dengan perasaan Abi atau memang karena hati mereka yang terikat satu sama lain, sehingga saling peka? Ah, membuat Abi semakin bangga saja.

Segala bayangan buruk yang sempat menghampiri benak Abi perlahan-lahan memudar. Tergantikan keberanian yang entah dari mana datangnya. Keyakinan yang tiba-tiba menyusup setelah huru-hara dihatinya. Berkat janji manis Rea.

"Oke.." Ucap Abi pada akhirnya.

Rea hela nafas leganya. Sudah jauh ia melangkah, tidak akan ia biarkan segalanya berakhir sia-sia. Sama sekali tidak ada keraguan sekalipun ia tahu setelah ini akan lebih banyak perjuangan.

Terserah!

Apapun itu, yang pasti Abi hanya miliknya seorang. Tidak akan ia lepaskan untuk siapapun!

Senyum Rea akhirnya menular kepada Abi. Meskipun tipis, namun binar matanya mulai cerah kembali. Tanpa ragu, Abi juga menangkup kedua pipi Rea. Menyatukan kening mereka lalu mengucapkan kata cinta berkali-kali.

"Reaku.. cintaku..."

Rasa itu mungkin tabu. Di balik kata saudara yang mereka jadikan tameng segalanya. Namun Rea adalah impian Abi. Sejak mengenal perempuan, belum pernah Abi mengagumi mereka kecuali Rea meski dulu sulit sekali untuk menggapainya. Obsesi sebagai adik yang diakui Rea, kini berubah menjadi orang yang dicintai Rea. Tidak masalah, itu justru lebih bagus. Abi jauh lebih puas dengan ini.

Tanpa mereka sadari, laki-laki kecil berdiri tak jauh dari mereka. Mencuri dengar dan mengamati kegiatan yang sedang dilakukan dua saudaranya. Sambil melahap ice cream manis rasa cokelat kesukaannya, ia merekam kejadian itu dengan baik dalam memory kecilnya.

Nanti, Abra juga ingin seperti Kak Abi dan Mbak Reanya.

***

"Akhirnya kalian pulang juga. Kami khawatir, Rea. Sejak tadi mencari keberadaan kalian." Sambut Teti, begitu keponakannya, Abi, Rea dan Abra memasuki rumah.

"Kita cuma butuh udara segar dan ingin menyepi sebentar kok, bi." Jawab Rea ramah. Ia membawa Abra dalam gendongannya lalu mendudukkan diri di sofa, tepat di samping Teti.

Abi masih seperti biasanya, hanya tersenyum kecil sebagai sapaan lalu pergi. Abi tidak suka berkomunikasi tidak penting dengan  orang asing. Selalu seperti itu sejak dulu.

"Abra sudah makan belum? Mau makan dulu nak?"

"Abra udah makan Tante, tadi diluar sama aku sama Abi juga."

"Syukurlah kalau kalian sudah makan. Tante  khawatir dengan kalian. Mama kamu tadi titip salam, harus pulang lebih dulu. Tapi ia akan kesini lagi besok pagi untuk menjemput kamu katanya."

"Mama mau jemput aku?"

"Yaa, mama kamu. Kalian baik-baik saja kan?"

"Kami baik-baik saja."

Teti mengambil sebelah tangan Rea. "Om kamu harus bekerja besok. Anak-anak juga harus sekolah, apa kalian nggak apa-apa kalau Tante tinggal malam ini? Tapi ada Mbak Asih dan lainnya kok yang akan temani kalian. Besok setelah anak-anak beragkat sekolah tante kesini lagi. Oh iya, karena keluarga ayah kamu hanya terisisa Om Gun mu, gimana kalau nanti Abra ikut sama tante aja?"

"No."

***

PARTNER IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang