Bab 21

517 18 0
                                    


***

"Abra udah tidur?"

Rea menghentikan langkahnya lalu tersenyum dibelakang Abi. "Udah. Kamu kok tahu sih? Aku jalannya udah sepelan mungkin loh supaya kamu kaget nanti."

"Suaranya nggak ada, tapi aromanya ada.."

Lagi, Rea kembali tersenyum mendengar jawaban itu. "Masa sih?" Bisiknya pelan seraya melangkah kedepan. Terus.. dengan arah yang sama hingga tubuhnya menempel pada tubuh bagian belakang Abi. "Disini dingin, kita ngobrol didalem aja yuk?"

"Kamu kedinginan?" Seketika Abi menoleh kebelakang melihat baju yang dikenakan Rea. Dress hitam selutut dengan tali spaghetti. Pantas saja, wanita itu pasti  kedinginan.

"Kalau begini nggak begitu dingin kan?"

Rea tersentak kaget merasakan tubuhnya telah berada dalam dekapan Abi. Tubuh kurus yang hangat. Dari manusia dengan sikap dinginnya yang menawan. Heran, kenapa hanya dengan sebuah pelukan saja Rea sudah begitu tenang?

"Iya.. ini lebih baik.."

"Re, kamu percaya sama aku kan?"

"Heung?" Rea tidak begitu mendengarkan ucapan Abi. Yang ada di kepalanya hanyalah aroma dan kehangatan yang mencandu. Rea ingin terus menikmatinya, terus, lagi, lagi dan lagi. Tanpa ada kata berhenti.

"Rea.. kita harus berhenti dulu."

Sontak saja kalimat itu membuat jantung Rea hampir copot. Apa? Berhenti katanya? "Maksud kamu?"

"Kamu percaya sama aku kan Re?"

Rea mengangkat sebelah alisnya sambil mengamati Abi dengan seksama. Hazel hitam milik Abi tampak suram. Kemarin dan hari ini sudah suram, tapi malam ini jauh lebih dari itu. "Ada apa?"

Bahkan desah nafasnya terdengar lebih cepat dari biasanya. Dalam tenangnya itu, Rea bisa merasakan kekhawatiran yang amat sangat. "Sayang, ada apa?"

Perasaan Rea mulai tak nyaman. Abi tidak pernah sekacau ini, bahkan saat membuat masalah besar di sekolah dan terancam dikeluarkan pun, tampangnya tetap biasa saja. Tidak keruh sama sekali. Rea menelan salivanya susah payah, jelas ini bukan masalah sepele.

"Rea.."

"Ya?"

"Om Gun tahu.."

"....."

"Soal kita Rea. Om Gun tahu soal kita."

"Om Gun?"

Kilat kekhawatiran yang tadi hanya berpendar dimata Abi, kini mulai menular pada Rea yang perlahan mulai mencerna keadaan. Kilasan kemungkinan terburuk mulai berseliweran di kepala.

Lebih parahnya lagi, kilasan masa lalu kelam tentang ayah, mama, dan saksi-saksi dimasa itu juga tiba-tiba datang menyerbu isi otak Rea.

"Brengsek, rendahan kamu! Sialan! Banjingan nggak tahu diri kamu! Mati kamu mati!!!"

Rea kecil duduk meringkuk disudur ruangan. Menutup telinga meski matanya tak lepas dari dua orang yang tengah bersitegang sejak   malam kembali datang.

"Aku memang brengsek rendahan! Tapi aku nggak lebih rendah dari wanita peselingkuh macam kamu!"

"Diaaam! Diamm atau kubunuh kau!"

'Kenapa Mamanya menodongkan pisau pada Ayah?' Pikir Rea saat itu. 'Orang-orang sedang menonton, apakah ini sebuah pertunjukkan?'

'Tetapi kenapa mereka semua hanya diam?'

'Apakah mereka hanya penonton?."

"Bunuh saja aku! Bunuh! Kamu kira aku takut mati hah? Bunuh!"

PARTNER IN LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang