AYAKA #4

250 165 40
                                    

Hallo All
Happy reading...

CHAPTER 4: "kakek Brawijaya"

Brawijaya tersenyum melihat kedatangan cucu perempuannya, karena dia salah satu alasan Brawijaya berkunjung ke Indonesia, dulu sewaktu kecil Brawijaya pernah bermain bersamanya, tapi sayang penampilan Ayana seperti lelaki, entah apa yang di pikirkan anaknya itu, sampai merubah penampilan Ayana menjadi tidak bermoral.

Setelah tau bahwa wijaya mempunyai anak kembar Brawijaya sedikit kecewa, ternyata garis keturunan keluarganya masih terjerat oleh kutukan dan perjanjian, hal itu masih terus mengalir kepada anak dan cucunya.

"Cucu, kamu masih mengenal orang tua ini?" Tanya Brawijaya.

Pertanyaan Ayana teralihkan oleh pertanyaan Brawijaya. Ayana mengerutkan keningnya, sepertinya Ayana kenal suara dan wajah paruh baya itu. Ayana mencoba mengingat-ingat. Oh! Itu kakek Bar-bar.

"Kakek Bar-bar!" Pekik Ayana berlari memeluk Brawijaya.

"Hahaha, Astaga cucuku, ternyata kamu masih mengingat orang tua ini? Bahkan untuk panggilannya pun masih sama belum berubah."

Ayana cengengesan, dia rindu dengan Brawijaya karena udah lama sekali dia tidak bertemu dengannya. Akana tersenyum miris, dia merasa kehadirannya tidak dianggap ada oleh Brawijaya. Tapi Akana sadar, dia di sini hanya boneka Wijaya Akana pun memutuskan pergi ke kamar.

"Oh iya, Fatamorgana ikut ke sini gak?" Tanya Ayana, tanpa berniat melepaskan pelukannya. Wijaya berdecak sebal.

"Fatamorgana dia nyusul, sekalian dia pindah sekolah di sini."

"Beneran?"

"Iya, karena sebelum Tante Winaya pergi, dia berpesan kepada kakek 'jika fatamorgana sudah berumur ke-17 tahun dia harus tinggal di Indonesia', jadi seperti itu," jelas Brawijaya seraya mengelus rambut Ayana. Dilihat-lihat tubuh Ayana semakin kurus dari terakhir dia bertemu.

"Cucu kurusan?"

"Hah?" Ayana bingung, padahal badannya biasa-biasa aja tapi kenapa Brawijaya mengatai ku kurus?

"Aku gak kurusan kek, badan aku emang segini."

Sedangkan Wijaya menatap datar Ayana, entah mengapa setiap kali melihat wajah Ayana Wijaya selalu teringat istrinya Aurin. Mungkin wajah dan sikap Ayana sangat mirip Aurin, jadi karena hal itu semakin besar rasa benci Wijaya terhadap Ayana.

Brawijaya tersenyum, dia pura-pura percaya tentang perubahan fisik cucunya. "Istirahat lah cu, abis pulang sekolah pasti kamu cape."

"Cape? bikin ulah sih iya," ketus Wijaya.

"Apa maksud kamu Wijaya?"

"Hari ini saya dapat laporan dari sekolah, kalo dia bikin ulah lagi," Ujar Wijaya sambil menunjuk Ayana.

"Nama aku Ayana, ayah," ucap Ayana, dia mencoba mengingatkan ayahnya bahwa dia mempunyai nama, karena setiap kali Wijaya memanggil Ayana Wijaya tidak pernah memanggil nama melainkan kamu, dia dan kau.

"Kamu istirahat dulu ya, kakek mau berbicara penting dengan ayah kamu."

"Oke! Bye kakek." Ayana mengecup pipi Brawijaya lalu dia berlari kecil menaiki tangga.

Brawijaya menghela nafas, lalu menatap Wijaya seolah meminta penjelasan.

Wijaya memutar bola mata malas, "sudahlah ayah, lagian itu semua sudah takdir. Soal Aurin saya belum menemukan titik terangnya." Brawijaya mengangguk, dia paham apa yang di rasakan anaknya sekarang. Karena dulu Brawijaya pernah merasakannya.

"Tolong Wijaya, jangan mengulang lagi kesalahan ayah dulu. Dan satu lagi jangan sampai nasib Ayana seperti kinan dan Winaya. Kamu tau kan? Penyesalan itu datangnya akhir."

AYAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang