Lagi-lagi Tuan Kim terdiam cukup lama, ia benar-benar dibuat shock berat dengan penjelasan yang Namjoon beri. Beberapa saat ruangan itu seperti tak bernyawa, tak ada suara yang berdengung. Tuan Kim terlalu terkejut untuk bicara sedang Namjoon terlalu takut untuk mengusik ruang yang ayahnya ciptakan.
Tak lama kemudian sang ayah berdiri dari kursi kehormatannya dan berjalan menuju jendela besar yang menampilkan kota Seoul. Ia memunggungi putra sulungnya, "Mengenai anak itu, ayah tak tahu harus bagaimana. Ibumu terlalu melewati batas dengan tetap bungkam seperti ini."
Namjoon menghela napas panjang, entah sudah keberapa kali ia mengatur napasnya dengan baik agar tak meledak, "Aku tahu apa yang ibu lakukan memang tidak mudah dimaafkan. Tapi itu tak ada hubungannya sama sekali dengan Jimin. Jika ayah tak ingin mengakuinya, aku juga tak keberatan untuk tak memberitahu apapun pada Jimin. Biarkan seperti ini, biarkan dia hanya tahu ada aku yang melindunginya. Aku tak ingin adikku terluka dengan penerimaan ayah yang abu-abu seperti ini."
Tuan Kim telak membisu.
"Dan lagi, sebenarnya akupun tak ingin membahas masalah Jimin dengan ayah. Jimin akan tetap bersamaku entah ayah akan terima atau tidak kehadirannya. Yang ingin aku bahas dengan ayah adalah Jungkook."
Tuan Kim berbalik menghadap Namjoon. Ia sempatkan melihat kedua bola mata sang sulung. Dirinya jelas bangga dengan ketegasan yang dimiliki anaknya. Ia tahu jika Namjoon memiliki jiwa pemimpin yang cakap. Termasuk memimpin adik-adiknya agar hidup dengan baik. Tapi untuk melepas Jungkook, itu lain hal. Ia tak bisa begitu saja melepaskan anak yang selama ini jadi tumpuannya, harapannya.
"Ayah akan bicara pada Jungkook tentangmu dan ibumu, jika itu yang kau mau. Tapi untuk membawanya pergi bersamamu, ayah menolak untuk itu."
Namjoon mengepalkan tangannya. Ia teringat pada percakapannya dengan Jimin tentang keinginan Jungkook menjadi seorang pelukis yang ditentang ayahnya. Ia tahu jika ayahnya ingin menjadikan Jungkook penerus perusahan maka dari itu ia tak memberikan Jungkook keleluasaan untuk bersamanya.
"Ayah masih saja tetap egois. Apa ayah tahu jika Jungkook ingin jadi pelukis? Apa ayah akan memaksakan kehendak agar Jungkook tetap menuruti apa yang ayah inginkan?"
"Terserah apa katamu. Kau hanya belum paham Namjoon-ah. Banyak hal yang ayah korbankan demi perusahaan ini. Memikirkan penerus yang mumpuni adalah satu-satunya cara agar apa yang ayah usahakan selama ini tak sia-sia."
***
Pemuda berpipi tembam itu sedang bersiap untuk berangkat ke sekolah. Baru saja ia hendak menyisir rambutnya, terdengar suara pintu dibuka. Siapa lagi jika bukan kakaknya, "Ayo cepat selesaikan urusanmu, hyung sudah siapkan sarapan," ujar Namjoon seraya melongok ke kamar si bungsu.
Jimin spontan memutar bola matanya, tapi tentu saja Namjoon tak melihat itu. Sebaik apapun kakaknya itu, ia tak akan menoleransi sikap tidak sopan terhadap orang yang lebih tua. Jadi meskipun Jimin sedang kesal ia akan melakukan hal-hal itu dibelakangnya. "Iyaaaaa hyung."
"Hyung akan siapkan bekal makan siangmu ya, ini ada jamur--" belum selesai Namjoon menjelaskan menu bekal adiknya hari ini, Jimin sudah memotong ucapannya dengan rajukan, "Aaaah hyung~ aku tidak mau bekal. Seperti anak TK saja," Jimin mengayunkan suaranya seraya meletakkan kepalanya di meja makan. Dia tak tahu saja jika apa yang baru saja dilakukannya itu memang persis seperti anak TK.
"No-no. Hyung tidak mau kau melewatkan lagi makan siangmu Jimin," Namjoon teringat dengan aduan Mingyu saat itu yang mengatakan Jimin sering mangkir makan siang.
"Ayolah hyung~ aku malu," Jimin masih berusaha menolak bekal yang disiapkan untuknya.
Okay, ini saatnya Namjoon beraksi jika sudah seperti ini, "Baiklah, bawa bekal sekarang atau hyung antarkan saat makan siang ke sekolahmu? Hyung tidak keberatan datang ke sekolah untuk memastikan kau makan siang. Bagaimana hm?"
Senyum gemas terpatri dibibir si sulung melihat adiknya semakin merajuk dengan menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan seraya berujar, "Aaaah hyung mengapa sampai seperti ini sih~ yasudah aku bawa bekalnya sekarang!" Jimin mengambil bekalnya dan berjalan sembari menghentakkan kakinya menuju ke arah mobil Namjoon.
***
"Jimin!" teriak seseorang di dekat gerbang Yanwa School seraya menghampiri sosok tembam itu.
"Eoh, Taehyungie hyung!"
"Hallo Namjoon hyung!" Taehyung segera menyapa Namjoon yang berada di dalam mobil setelah ia menghampiri Jimin. Namjoon membalas sapaan Taehyung dan segera pamit untuk pergi ke kantor yang tak jauh dari sekolah adiknya itu.
"Eh itu Jungkook, Jungkook!' Taehyung melihat Jungkook yang baru saja keluar mobilnya. Terlihat Jungkook melongok sebentar ke dalam kaca mobil, mungkin seseorang dalam mobil itu berbicara pada Jungkook.
Akhirnya ketiga pemuda itu berjalan bersamaan menuju gedung sekolah mereka seraya bersenda gurau yang tentunya di pelopori oleh si aktif Taehyung.
Tanpa mereka sadari ada sesosok pria paruh baya yang sedang memerhatikan mereka dari jauh, tepatnya pada seorang pemuda yang tampak paling kecil diantara keduanya.
Ya, dia adalah Tuan Kim. Sosok tangguh yang pandai menutupi perasaannya. Ia berusaha tak menunjukkan gelagat apapun saat melihat seorang pemuda yang katanya merupakan anaknya, padahal sekuat tenaga ia menahan diri untuk tak keluar dari mobilnya guna melihat pemuda itu lebih dekat.
Pertemuannya dengan Namjoon tempo lalu tak merubah apapun. Ia masih bungkam di hadapan Jungkook perihal kebenaran Namjoon dan ibunya, pun ia masih tak berkutik terhadap informasi baru mengenai Jimin.
Ia hanya bingung harus melakukan apa dan bagaimana cara mengawalinya. Karena menurutnya ini sudah terlalu jauh, dan ia kesulitan menguraikannya satu persatu.
Haruskah ia meluruhkan egonya demi anak-anaknya? Haruskah ia mendengar sulungnya lebih baik lagi?
***
Yuhuuuu! Aku lagi on fire niiiih hihi.
Semoga lancar terus yaaa ideku untuk lanjut cerita ini.Gimana menurut kalian tentang chapter iniii? Kasitau aku yaaaa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Find You
FanfictionNamjoon memutuskan untuk menginjakkan lagi kaki nya di Korea demi menemukan adiknya yang sudah terpisah dengannya belasan tahun lalu. Berbekal memori masa kecil, akankah ia berhasil?