9. Para Pengusik

6.3K 747 39
                                    

9. Para Pengusik

"Jaga Cokie sampai aku pulang. Jangan dibully."

Begitu titah Regan sebelum berangkat ke kantor dan membebaskan Putri dari tugas menyopiri pagi ini. Skip bagian 'jangan dibully' nya, sebab meski sebal, Putri tidak bisa menggerutu. Regan sudah begitu baik mempedulikan memar dan bengkak di kakinya - yang mulai terasa sakit dan membuatnya sedikit pincang di pagi hari - dengan meringankan tugas Putri hari ini.

Sementara si cokie lahap menjilati makanannya, Putri berdiri, bergeming, bersedekap, mengamati si cokie hingga kepalanya miring ke kiri, saking fokusnya. "Kenapa para manusia suka anjing?" Putri benar-benar heran. Seingatnya, anjing, tidak peduli semenggemaskan apapun bentuknya, tetap saja hewan berbahaya, bisa menggigit, bahkan menularkan rabies.

Putri menghela napas dan merapatkan jaketnya. Lalu dengan sedikit langkah tertatih, didekatinya sofa dan dihempasnya tubuh yang sedikit menggigil itu ke sana. "Baru kali ini gue jatoh sampe demam dan pincang." Putri berdecak, merebahkan kepalanya menatap langit-langit, termangu, lantas teringat perkataan Ganesh semalam. Sungguhkah ada yang sengaja menabraknya? Putri ingat-ingat siapa saja yang pernah berseteru dengannya di masa lalu. "Apa iya gue punya musuh?" Teman Putri itu cuma si Lena dan Mina. Memang sih, dulu Putri kerap bertengkar dengan teman-teman sebayanya, tetapi dalam pertengkaran itu, Putri yang lebih banyak dirugikan, sebab dia adalah si korban bully. Jadi normalnya, yang lebih layak mendendam harusnya Putri. "Apa mungkin duo setan itu?" Putri mengerjap lagi, lalu melirik kaki memarnya yang tersenggol si cokie yang mulai berkeliaran. "Ck. Nyusahin."

Lalu sekonyong-konyong, bel berbunyi bersamaan suara gukguk pertama yang diloloskan si cokie padanya. Bangkit, Putri langkahkan hati-hati kakinya ke pintu depan.

"Loh?"

Si tamu berdiri tegap di depan pintu. Tersenyum hangat. "Regan ada?"

**

"Silakan." Putri letakkan secangkir kopi hangat yang diminta. Diam-diam melirik papinya - kalau bisa disebut begitu - yang menyeruput kopi buatannya dengan tenang dan senyap.

"Kakimu kenapa?" Barsha pasti sudah melihat bagaimana Putri berjalan.

"Keseleo." Barsha mengerutkan dahi. Dan Putri tidak berniat menjelaskan lebih. "Apa saya harus menelpon Tuan Regan ... Tuan (?)"

Lalu Barsha tertawa. "Jangan panggil saya tuan. Saya bukan majikan kamu. Panggil Om, sama seperti Regan."

Putri memaksa senyum sebelum mengangguk.

"Saya sengaja ke sini karena biasanya Regan kerja dari rumah. Rupanya sekarang dia ke kantor setiap hari." Lalu Cokie menghampiri Barsha. "Hey! Kamu di sini. Saya hampir lupa." Barsha menunduk dan mengusap bulu halus anjing mungil itu. "Cokie cukup penurut. Hanya saja tidak bisa makan sembarangan. Apa dia menyusahkanmu?"

Sangat. "Enggak, Tu-Ekhm-Om." Sebenarnya, Putri itu sedang menahan pegal dan ngilu. Berdiri menghadap Barsha yang duduk santai di sofa, cukup menegangkan urat-urat kaki-

"Kamu mirip ibumu."

-nya.

"Saya dengar ibu kamu berhenti kerja di rumah Baskoro." Barsha tinggalkan bulu-bulu halus si cokie dan mendongak menatap Putri. "Apa itu sebabnya kamu di sini sekarang? Kamu menggantikan ibumu bekerja?"

Putri bergeming, beradu tatap dengan Barsha, lalu tersenyum sopan, tipis sekali. "Om kenal mami saya ternyata."

"Mami? Ah, jadi kamu memanggilnya mami ya." Barsha tersenyum, mengangguk ... senang (?) "Saya sempat bilang akan memperkenalkan diri dengan benar di pertemuan berikutnya bukan?"

[✓] TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang