11. Jadi, Pernah Atau Enggak?

6.5K 754 22
                                    

11. Jadi, Pernah Atau Enggak?

Pusara itu begitu terurus, bersih dan rapi. Tidak sampai semewah beberapa pusara di sekitarnya. Regan bilang, Ganesh dan mamanya ingin membuat tempat peristirahatan terakhir mendiang papanya sederhana saja, bersahaja, seperti pusara yang lain, juga persis seperti pribadi Gandi Angkara semasa hidup.

"Ganesh membenciku, karena dia pikir, akulah yang seharusnya mati hari itu, bukan Om Gandi."

Putri pandangi punggung tegap Regan. Termenung menatap lama pada batu nisan membuat raut wajah Regan tidak terlihat. Namun mungkin ... terdapat banyak mendung di sana.

"Dan kupikir, seharusnya juga begitu."

Putri melipat bibir. Tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Lalu kisah masa lalu itu pun Putri dapatkan dengan kepingan yang 'nyaris' sempurna. Bagaimana Regan kecil begitu antusias menemui seorang teman lama yang telah setahun tidak pulang ke rumah. Bagaimana Om Gandi saat itu begitu baik menggantikan papa menemaninya menemui si teman lama itu. Lalu bagaimana si teman lama tersebut ternyata telah berubah menjadi monster mengerikan. Regan tinggal di Singapura kala itu. Dia ingat betul itu tahun pertamanya masuk SMP. Dan ada dua orang yang ditembak oleh si teman lama tersebut. Dirinya, juga Om Gandi, papa dari sepupu yang begitu dia sayangi.

"Kamu tau yang paling aku ingat hari itu? Saat darah yang keluar dari kepala kami menggenang di lantai rumah mereka dan gelap mengambil alih kesadaranku?" Regan tersenyum pahit. "Dia tersenyum."

"..."

"Gadis kecil itu, tersenyum."

**

Putri rebahkan miring kepalanya di sofa, memandangi si cokie yang tidur pulas di atas bantal, termenung.

"Regan koma 3 bulan. Sempet kehilangan penglihatan dan pendengaran juga. Tapi untungnya gak permanen. Makanya gue bilang, tuan muda elo itu mendapat keajaiban Ilahi."

Putri mengerjap pelan, rebah lunglai sambil melipat dua tangan menopang sisi wajah, dan sesekali mengembus napas panjang. "Hey, Cokie! Lo kalau tidur mimpi gak sih?" Putri memicing, menatap penuh intimidasi pada cokie yang tidur pulas. "Gue pernah jadi guru privatnya bocah kaya, dia punya anjing, terus anjingnya mati. Lo tau gak, pemakaman dia dihadirin siapa? Menteri! Keren, kan? Lo mau begitu juga gak, kalau mati?"

"Jangan bahas kematian sama yang masih hidup."

Putri tengok Regan yang baru keluar kamar, sedang menuruni tangga. "Tapi umur kan gak ada yang tau, Tuan," sergahnya. "Tapi nih ya, misalkan aja ini ya. Kalau cokie mati, apa Tuan akan mengundang orang-orang penting di negara kita juga? Buat berbelasungkawa?"

Regan tepat meninggalkan undakan tangga terakhir, membenamkan lengan dalam saku, lalu menatap Putri yang antusias menanti jawaban. Namun jawaban itu tidak Putri dapatkan. Mengapa? Sebab Regan hanya menghela napas, mungkin berpikir 'bisa-bisa si cokie kena mental jika berlama-lama dengan gadis itu' lalu sadar, cemas. Sambil geleng-geleng kepala tidak habis pikir, Regan pun meninggalkan Putri menuju perpus pribadinya.

"Sok cool." Putri bersungut kecil. Namun diikutinya lelaki itu. Tak lupa, dia siapkan bola almond dan teh lemon hangat lebih dulu.

Perpus mini milik Regan terletak di sudut halaman belakang. Serupa bilik kecil berisi lima rak buku mengelilingi. Dalamnya pun dipenuhi pot-pot kecil berisi tanaman dan bunga. Regan bilang, membaca sambil menghirup aroma dedaunan cukup menyegarkan dan menghindarkan dari penat.

Putri letakkan nampan berisi camilan di atas meja kayu selagi Regan masih mencari buku yang ingin dibaca pada salah satu rak. "Kenapa Tuan suka baca?"

"Kenapa kamu suka kuning?"

[✓] TerikatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang